62

42 19 0
                                    

"Bapa, kenapa Bapa tidak mau dibebaskan?" Asih masih tidak paham dengan sikap ayahnya.

"Asih, kau yang membawa mereka ke sini?"

"Saya hanya mencoba menyelesaikan masalah ...."

"Ah, kau bertindak gegabah."

Asih menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti jalan pikiran ayahnya. Dalam situasi sulit pun, orang tua itu masih menolak dibantu polisi.

"Mereka penjajah, Asih. Pantang bagi kita untuk mendapatkan bantuan dari penjajah!" suara Haji Masdar meninggi.

Pernyataan ayahnya membuat Asih kaget. Dia tidak menyangka jika usahanya tidak disambut baik.

"Bapa, tolonglah ... turunkan sikap egois Bapa."

"Ini tentang harga diri, Asih! Kau belum mengerti!"

"Tapi, ini juga tentang harga sebuah nyawa!"

Sikap Asih menjadi sama-sama keras ketika ayahnya menolak pertolongan para polisi. Sebagai gadis yang baru tumbuh dewasa, dia belajar bagaimana sikap ayahnya ini membawa banyak korban.

"Bapa, tengoklah ... siapa mereka? Mereka korban dari ...." Tangan gadis itu menunjuk ke arah tumpukan tulang yang sedang dibersihkan oleh beberapa orang polisi.

"Asih, Bapa tidak menyuruhmu untuk meminta pertolongan para penjajah ini!"

"Lalu, Bapa ingin apa?"

"Biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri!"

Asih bernafas terengah. Gadis itu sulit menerima jalan pikiran ayahnya. Dia marah. Sikap keras kepalanya semakin terlihat di saat seperti ini.

"Baiklah, silakan Bapa menyelesaikan masalah Bapa ... tapi jangan bawa-bawa orang lain! Kalau Bapa ingin menjadi penguasa, jangan libatkan warga apalagi keluarga!"

"Kau masih kecil ...."

"Aku sudah besar, Bapa! Mungkin Bapa tidak memperbolehkan aku pergi ke mana-mana. Tapi, hari ini aku banyak belajar jika kehidupan di negeri ini ... tidak seburuk seperti yang Bapa katakan."

"Kalau kita dijajah, ya kehidupan tetap saja buruk!"

"Tapi, lebih buruk lagi jika dijajah oleh bangsa sendiri!"

Haji Masdar tidak bisa lagi berkata-kata. Kalimat yang keluar dari mulut anak bungsunya  sungguh menjadi sindiran yang menusuk hati.

"Bapa, hentikan semua ambisi Bapa untuk menjadi penguasa. Biarkan warga memiliki kebebasan untuk menjalankan hidupnya. Dan, bubarkan Perhimpunan. Jangan jadikan Perhimpunan sebagai jalan untuk memperalat warga ... dengan alasan ... wadah untuk perjuangan ...."

"Cukup Asih! Hentikan ocehanmu!"

"Bapa yang harus menghentikan kepura-puraan ini! Selama ini Bapa hanya berpura-pura berjuang untuk rakyat padahal berjuang untuk kepentingan diri sendiri!"

Langit seakan runtuh. Dunia seakan terbelah.

Haji Masdar masih bisa menerima jika orang lain yang menyudutkannya. Tapi, kali ini dia sulit menerima jika anaknya sendiri yang menyudutkannya.

Burhan dan Sang Komandan saling lirik. Mereka tersenyum kecut. Mereka mengejek Haji Masdar yang disudutkan oleh semua orang, termasuk anaknya sendiri.

"Sekarang, terserah Bapa. Sebagai anak, aku sudah berusaha untuk membantu. Seharian, aku pulang-pergi ke Batavia, ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Dan, ketika aku membawa bala bantuan .... Bapa menolak untuk dibantu ya silakan Bapa mengurus diri sendiri! Aku pergi!"

Dengan wajah berurai air mata, Asih membalikan badan kemudian berlari ke arah kawan-kawannya yang setia menunggu.

 

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang