60

45 19 0
                                    

Asih turun dari kuda, kemudian dia berdiri mematung. Gadis itu seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kini, halaman rumah orangtuanya berubah menjadi ladang pembantaian. Cahaya api unggun memperjelas bongkahan tulang-belulang yang berserakan di tanah. Di sudut lain, tergeletak mayat seorang laki-laki dekat seekor kuda yang tak henti-hentinya merintih.

Panca tahu kenapa gadis itu nampak terguncang. Siapapun akan sulit menerima keadaan jika menyaksikan tempat tinggalnya menjadi tempat yang menyeramkan. Pekarangan asri nan teduh di pagi hari tadi, kini tidak tampak pagi. Malam yang senantiasa diiringi nyanyian serangga, kini tidak terdengar lagi. Serangga-serangga itu ketakutan oleh suara-suara hentakan kuda yang terus berdatangan.

"Aku harap kau bisa menguatkan dirimu, Asih." Pratiwi bermaksud menenangkan temannya. Dengan sebuah pelukan, Pratiwi berharap bisa mengurangi guncangan batin yang dirasakan Asih.

Tidak hanya Asih, Bajra pun mulai merasakan ketakutan. Nalarnya sulit menerima ketika melihat sebongkah tengkorak manusia menggelinding meninggalkan tumpukan api unggun. Dan, tengkorak itu berhenti tepat di depan kakinya.

"Astagfirulloh!" Bajra kaget ketika dia tahu benda apa yang menghampirinya.

"Ini ...?" Panca bertanya-tanya akan situasi bagaimana yang sedang mereka hadapi.

Dari arah belakang keempat anak remaja itu datang seseorang dengan pakaian seragam birunya, " Ooo ... ternyata tempat ini berubah menjadi kuburan."

"Sepertinya begitu, Komandan."

Pria itu berjalan dengan langkah tegap ke arah api unggun yang menjilat udara malam. Hentakan sepatunya terdengar ketika menyentuh tanah. Dia menggelengkan kepala seakan sulit menerima apa yang dilihat di hadapannya.

"Bajingan, ternyata mereka dibakar ...."

Sang Komandan berjongkok, tangannya memegang satu lagi tengkorak yang hampir hangus. Dia melambaikan tangan kepada anak buahnya. Kemudian menyuruh membereskan tulang-tulang yang berserakan.

"Selamat datang, Tuan."

Sang Komandan disambut oleh seseorang yang tidak asing lagi di matanya. Mereka saling tatap.

"Saya merasa senang dikunjungi polisi sebanyak ini. Apakah kalian mau ikut berpesta dengan kami?"

"Tidak, saya hanya ingin menyampaikan surat kepada Anda." Sang Komandan melirik ke anak buahnya yang sedari tadi memegang amplop berwarna cokelat.

Surat itu diserahkan kepada pria berbaju putih yang menyambut rombongan; yang datang ketika hari masih terlalu dini untuk menyambut tamu. Dia membuka amplop di tangannya kemudian membacanya.

"Tuan Komandan, dengan berat hati harus saya sampaikan ... jika saya tidak bisa memenuhi permintaan Tuan Gubernur."

"Itu bukan permintaan, itu perintah."

"O, apa pun itu ... kami akan tetap di sini sampai semuanya selesai."

"Tuan Burhan, perlu Anda ketahui jika apa yang telah Anda lakukan di sini di luar kewenangan Anda. Jadi, kami terpaksa mengambilalih tugas ...."

"Aku tetap menolak!"

"O, baiklah. Jika begitu kau berhadapan denganku!" Sang Komandan membentak Burhan sambil menodongkan pistol.

Burhan pun tidak gentar digertak. Dia segera mencabut pistol di kantongnya kemudian diarahkan kepada seseorang yang menjadi tawanannya.

"Bapa!"

Suasana bertambah tegang. Asih pun spontan berteriak memanggil bapaknya berharap si penodong tidak menarik pelatuk.

"Jika kalian berani maju, aku akan menembaknya!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang