38

51 24 0
                                    

"Sekarang kau sendiri Juragan, tidak ada orang yang mau menemanimu."

"Itu prasangkamu, Burhan. Aku masih punya Alloh."

Burhan kembali menyalakan rokok. Kini dia mengisapnya sambil duduk di kursi yang sengaja diletakan tepat di depan Haji Masdar.

"Aku masih sulit mengerti, sebenarnya kau menganggap dirimu sendiri itu apa? Wali? Jelas bukan. Nabi? Apalagi."

"Aku hamba Alloh."

"Aku juga!"

"Kau hamba yang terkutuk ...."

"Lalu kau sendiri? Hamba yang diberkati? Sampai-sampai kau begitu yakin dengan apa yang kau perjuangkan akan mengantarmu ke surga?"

"Insya Alloh."

"Tapi, setahuku ... surga tidak menerima orang yang mengorbankan cucunya sendiri."

"Aku tidak mengorbankannya."

"Heh, sungguh caramu beragama terlihat aneh."

"Kau tidak akan mengerti."

"Ya, aku akui kalau aku tidak pintar dalam agama. Tapi, asal kau tahu ... aku tidak mudah dibodohi seperti pengikut-pengikutmu yang baru saja merasa kecewa denganmu."

Burhan berdiri. Dia berjalan ke arah tumpukan mayat di pekarangan. Sungguh menyesakan hati bagi orang yang melihat mayat-mayat yang bertumpuk itu.

"Juragan, aku masih merasa penasaran dengan sikapmu terhadap suatu kematian. Kau begitu mudah merelakan orang-orang di dekatmu untuk mati. Apakah kau tidak bisa menghargai nyawa seseorang?"

"Burhan, mereka sebenarnya sedang menuju kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan alam akhirat."

"Ya, aku tahu itu. Tapi, apakah menurutmu nyawa manusia harganya sama dengan nyawa binatang?"

"Bukan itu pijakan berpikirnya, tetapi lihatlah sekelilingmu. Ini hanya kehidupan fana."

"Hah! Omong kosong. Orang sepertimu begitu mencintai kehidupan duniawi. Bagaimana bisa kau berpikir jika ini semua fana."

"Kehidupan duniawi ini hanyalah cara kita untuk menuju kehidupan akhirat, ini hanya sarana ...."

"Tidak, aku tidak percaya dengan teorimu. Itu hanya berlaku buat orang yang sudah kaya sepertimu. Orang yang sudah puas dengan kehidupan duniawi. Tetapi, bagaimana dengan pengikutmu yang masih miskin. Mereka belum puas dengan kehidupan duniawi."

Burhan berdiri termangu di depan tumpukan mayat. Kakinya menginjak salah satu mayat laki-laki di depannya. Sebuah cara untuk menghina manusia yang sulit dimaafkan, meskipun manusia itu sudah tidak bernyawa.

Burhan menggelengkan kepala. Orang itu mulai kehilangan cara untuk menekan sanderanya. Haji Masdar sungguh orang tua yang keras kepala. Burhan sulit mengerti kenapa nyawa sudah banyak melayang tetapi Haji Masdar masih belum bisa menganggap itu sebagai ancaman.

"Manusia macam apa kau ini, Juragan?"

Haji Masdar hanya terdiam.

Burhan pun menatap orang tua yang masih terikat dan tidak berdaya itu. Mata mereka saling pandang. Sebuah pandangan yang penuh makna. Diantara mereka saling menerawang arah pikiran masing-masing.

"Burhan, kenapa tidak kau bunuh saja aku?"

"Ooo ... tidak. Tujuanku ke sini bukan untuk membunuhmu. Kalau itu, bisa aku lakukan sejak lama. Aku hanya ingin kita kembali bekerja sama, sebagaimana penjual dan pembeli."

"Sepertinya itu tak akan terkabul."

"Ya, aku paham jika kau mempersiapkan kematianmu. Kau tulis begitu banyak selebaran, berisi tentang ide-ide Himpunan Pribumi. Berharap ada orang yang akan meneruskan apa yang kau mulai. Namun sayang, pengikutmu mulai meragukan ucapan-ucapanmu."

Haji Masdar menatap tajam Burhan. Seakan kaget dengan isi pikirannya yang bisa dipahami Burhan.

"Kenapa kau menatapku begitu, kaget karena aku bisa mengerti jalan pikiranmu, Juragan?"

"Bukan, aku tidak sedang mengagumimu. Tapi aku melihat ada yang datang."

Tepat di jalan masuk ke pekarangan, ada delman yang tiba-tiba berhenti. Haji Masdar sangat mengenal penumpang delman itu. Mereka turun  dari titian dengan langkah cepat bahkan setengah berlari.

"Bapa! Apa yang Bapa lakukan?" orang yang datang berteriak sambil menangis. Dia menghampiri tumpukan mayat yang ada di tengah pekarangan, "Anakku!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang