18

56 21 0
                                    

Asih kaget bukan kepalang ketika mendengar suara tembakan berentetan tanpa jeda. Gadis itu berlari ke arah beranda rumah ketika dia sedang asyik menikmati teduhnya pohon rambutan di pekarangan belakang.

"Ahhh!" tanpa sadar dia berteriak.

Mata sayu milik Asih menyaksikan para pengawal ayahnya sudah bergelimpangan. Desingan peluru telah merobohkan tubuh mereka. Menggelepar kesakitan.

Asih menengok ke arah Haji Masdar yang sedang berdiri mematung. Ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Mata orang tua itu melongo seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Gadis itu, tangkap dia!" Burhan memberikan perintah pada anak buahnya.

Asih saling tatap dengan gerombolan penembak itu. Salah seorang diantara mereka pernah terlihat di hari kematian Majid.

Asih berlari.

Kaki-kakinya spontan mengajak dia untuk meninggalkan tempat itu. Dia berlari ke arah belakang rumah. Meskipun kain kebaya menyulitkan langkahnya, tapi gadis itu berlari secepat yang dia sanggup.

Lima orang laki-laki dengan senapan ditangan mengejar Asih dengan berkuda. Tuk tak tuk tak. Mereka bisa melecut kudanya untuk berlari diantara pohon-pohon besar. Pohon kelapa, pohon nangka hingga pohon salak seakan menjadi halang rintang bagi permainan kucing-kucingan.

Tentu saja, gadis itu tidak sanggup mengalahkan lari seekor kuda. Asih terkepung.

Terlalu mudah bagi para pria berkuda itu untuk mengepung gadis rumahan seperti Asih yang tidak terlatih untuk bertempur. Para lelaki itu mengitari Asih di tanah yang agak lapang di bawah pohon kelapa.

Asih memang tidak gesit. Tapi, dia bukan gadis bodoh yang tidak sanggup berpikir.

Pria-pria berjambang dan berkumis lebat itu terlalu meremehkan seorang gadis. Mereka tidak langsung menangkap Asih. Justru malah mengajaknya bermain seperti akan mengajak bermain seekor babi hutan.

"Kau mau ke mana gadis kecil?"

"Sebaiknya kau menyerah daripada nyawamu hilang!"

Asih tidak bergeming. Anak gadis itu menatap orang-orang di depannya dengan tatapan penuh kebencian. Saat ini, kelopak mata Asih enggan mengeluarkan tetesan air mata selayaknya seorang gadis yang merasakan ketakutan.

Dia mulai merasa jika waktunya telah tiba. Waktu dimana komplotan penindas itu akan meneruskan aksinya.  Perasaan yang sedari tadi menggelayuti hatinya ketika menyaksikan orang yang dicurigai asih sebagai pembunuh Majid ada diantara pria-pria berkuda itu.

Aku harus tenang. Asih menenangkan dirinya dengan menarik nafas.

Kedua tangan Asih mengangkat kain kebaya yang menjulur ke betis. Dia gulung kain itu hingga gulungannya membesar di pinggang.

Asih siap untuk berlari kembali.

Dia memperhatikan langkah kuda yang mulai pelan. Kaki-kaki kuda semakin pelan berjalan. Dan, akhirnya mereka berhenti melangkah.

Haap! Gadis itu berguling diantara ke bawah perut si kuda.

Dia kembali berlari ... Wussh!

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang