16

49 24 2
                                    

"Juragan, ayolah ... apa salahnya menjual padi milik Anda kepada kami?"

"Kami tidak ingin punya hubungan dengan Pemerintah Hindia Belanda."

"Begini saja, anggap saja kami bukan orang Pemerintah. Kami orang biasa yang ingin membeli padi dengan harga pasar."

"Tidak, kami bersikukuh untuk tidak menjual padi ...."

"Juragan Haji, silakan Anda bersikap seperti ini tapi kenapa harus mengajak warga lain? Bahkan di setiap desa yang kami singgahi semuanya menolak untuk menjual padinya."

"Berarti mereka satu pemikiran dengan saya."

"Karena Perhimpunan Pribumi yang Anda dirikan sudah membuat kesepakatan untuk itu. Ingat, organisasi Anda sudah masuk 'daftar hitam'. Terlarang."

"Saya tidak peduli dengan hal itu."

Haji Masdar menyeruput kopinya. Mencoba bersikap tenang menghadapi Burhan yang mulai jengkel.

"Juragan, kenapa sikap Anda itu ingin berbeda dengan orang lain? Lihatlah kami, kami bekerja sama dengan orang-orang Eropa. Kita sama-sama diuntungkan."

"Heh, kalian kan orang yang mau menjadi kaki tangan penjajah."

"Karena kami tidak mau mati konyol!"

"Tuan Burhan, apakah Anda sadar jika bangsa kita sedang diadu domba?"

"Diadu domba, saya tidak melihat itu. Justru Hindia Belanda melakukan banyak perbaikan di negeri ini. Lihatlah, jalur kereta api dibangun, pelabuhan dibangun di banyak tempat. Ingat, Anda sendiri bisa melaksanakan ibadah haji karena jasa  orang-orang Eropa itu."

Haji Masdar terdiam. Suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah jika dia menjalankan ibadah haji menggunakan fasilitas Pemerintah Hindia Belanda. Kala itu, dengan menumpang kapal uap milik pengusaha Belanda dia berangkat dari pelabuhan di Batavia menuju jazirah Arab.

"Itu yang diinginkan orang Eropa itu. Mereka ingin Anda membela mereka habis-habisan. Sedangkan kami di sini tetap melawan mereka .... Coba pikirkan. Ada alasan kenapa pegawai Pemerintah seperti Anda bukan orang pribumi Sunda atau Jawa?"

Burhan tidak menjawab, menunggu penjelasan Haji Masdar.

"Orang Belanda ingin agar kita saling bermusuhan. Anda orang Borneo* dan para pengawal pedati itu orang Celebes* didatangkan agar Anda tidak  memiliki rasa memiliki pada tanah Jawa ini."

"Oh, kami tidak memikirkan itu. Kami hanya butuh uang."

Haji Masdar tersenyum kecut.

"Baiklah Juragan, rasanya percuma saya bicara panjang lebar. Saya mau pergi saja!"

"Silakan."

Burhan berdiri, dia melangkah ke pekarangan. Wajahnya begitu masam, dia marah pada sikap Haji Masdar.

Bisa dimengerti jika Burhan begitu kesal. Sudah berkali-kali dia menemui Haji Masdar tapi hasilnya nihil. Tugasnya dalam mengumpulkan pangan untuk Pemerintah Hindia Belanda kembali gagal.

Burhan naik ke atas pelana, dia memegang senapan yang tergantung di punggung kudanya. Lelaki itu menghela nafas, dia menatap tajam Haji Masdar. Dia juga menatap para penjaga rumahnya yang berjejer di beranda.

"Sekarang!" Burhan memberi perintah.

Dor dor dor dor dor !

-----------
*Borneo = nama lama Kalimantan
  Celebes = nama lama Sulawesi

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang