43

56 18 0
                                    

Kota Batavia begitu indah bagi Asih. Bentengnya yang kokoh berdiri seakan berbicara padanya bahwa bangsa Eropa sekokoh bangunan itu. Bangunan-bangunan ukuran besar yang berdiri di sepanjang kiri dan kanan jalan menyiratkan bahwa mereka tiba dari negeri yang berbeda dalam banyak hal dengan kaum tani di Desa Sugihmakmur.

"Wah, bangunannya besar-besar ya."

"Ya, mereka membangunnya entah sejak kapan. Ketika pertama kali aku ke Batavia, bangunan-bangunan megah ini sudah ada."

Asih mengungkapkan kekagumannya pada Panca. Mata gadis ini tak henti-hentinya melihat dengan jeli hampir setiap inci tembok yang berdiri di tanah dekat kanal-kanal dengan airnya yang menenangkan.

"Orang-orang di sini dari mana-mana ya."

"Mereka datang dari negeri-negeri seberang untuk berdagang atau bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda."

"Aku tidak hafal darimana saja orang-orang ini berasal. Pakaian mereka berbeda-beda."

Asih kagum ketika melihat wanita-wanita Batavia yang berjalan dengan berjalan kaki atau menaiki kereta kuda. Pakaian mereka indah nan anggun perlambang status sosial yang dimilikinya. Ada yang memakai gaun panjang dan ada juga yang berbaju cheongsham.

"Panca, mereka hidup saling bersampingan ya. Padahal, mereka datang dari berbagai bangsa."

"Ya, ada Cina, Arab, Eropa, Banda, Makasar dan tentu saja Jawa dan Sunda."

"Tapi ... aku heran kenapa Bapaku begitu benci pada Pemerintah."

"Itulah perbedaannya. Orang Batavia rela diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda karena mereka diberi keleluasaan untuk berdagang atau melakukan banyak pekerjaan lainnya."

"Kecuali menjadi pegawai Pemerintah?"

"Ya, sebenarnya ada juga orang pribumi yang menjadi pegawai Pemerintah. Sedikit. Syaratnya begitu ketat. Paling-paling menjadi pegawai rendahan."

"Kalau pejabat tinggi?"

"Tentu saja mereka orang-orang Eropa."

Panca menerangkan banyak hal pada Asih. Dengan setia, Asih mendengarkan cerita Panca tentang seluk-beluk ibu kota Hindia Belanda itu. Bahkan dia menerangkan bagaimana kanal-kanal di kota itu menjadi sarana penting untuk tranportasi dan penahan banjir.

Sampan-sampan yang hilir mudik terlihat membawa orang ke arah berlawanan dengan sampan pembawa barang atau hasil bumi. Dengan caping di kepala, pengayuhnya nampak bergembira menjemput rezeki yang tiba.

Kala sore menjelang, Asih melihat orang-orang bersantai di pinggir kanal. Di bawah pohon, mereka menyaksikan semburat cahaya matahari di ufuk barat. Ditemani kuda-kuda dan sapi penarik pedati, orang-orang itu seakan menantikan sore itu segera menjelang. Mereka merindukan petang yang tenang di tengah hiruk-pikuk Batavia yang penuh dengan dinamika.

Sesekali Asih menyaksikan burung perkutut hinggap di pohon. Kemudian dia turun ke tanah demi mencari remahan-remahan sisa pakan kuda atau sapi. Beberapa langkah kakinya yang mungil menuju butiran jagung yang tercecer di sela rumput yang mulai mengering.

Asih sangat menikmati suasana sore itu. Untuk sejenak, dia lupa jika tujuannya ke kota itu membawa misi penting.

"Hei, nanti dulu santainya ... ayo cepat sebelum hari gelap!" Pratiwi mengingatkan Asih yang masih takjub dengan suasana kota yang belum pernah dirasakannya.

"Ya, aku rasa begitu." Panca menyetujui Pratiwi.

Panca, Asih, Bajra dan Pratiwi nampaknya punya alasan lebih kuat untuk melecut si Nakula dan si Sadewa. Kedua hewan tunggangan pun membelah jalan kota demi mencapai tujuan.

"Kalian yakin orang itu bisa menerima kita?" Asih bertanya pada kawan-kawannya.

"Kita coba saja dulu, semoga dia masih ada di tempat kerjanya." Panca menjelaskan sambil memandang jalan yang mulai lengang.

"Dan mau menolongmu, Asih ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang