24

44 18 0
                                    

"Baiklah, begini saja," Burhan terus mencoba bernegosiasi, " Aku beri waktu kau untuk berpikir, Juragan."

"Percuma, aku akan tetap pada pendirianku."

"Benarkah, kita lihat ...."

Burhan mengarahkan pandangan pada anak buahnya. Mereka membawa tali untuk mengikat tubuh Haji Masdar. Orang tua itu diseret hingga ke ruangan tengah. Dia dikumpulkan bersama istri dan para pembantunya.

"Aku beri kau waktu satu jam untuk berpikir. Bila dalam satu jam kau tidak bisa mengubah pendirianmu, maka aku akan membunuh salah satu diantara kalian ... begitu seterusnya."

Haji Masdar tidak menjawab menanggapi Burhan. Wajahnya begitu datar.

Bagi orang yang kurang paham karakter manusia, sikap Haji Masdar ini sungguh sulit dimengerti. Ketika dia sudah dihadapkan pada ancaman kematian, sulit sekali baginya untuk mengubah pendirian. Bagi warga biasa, mungkin dia akan menyerah begitu saja ketika anggota keluarganya diancam untuk dibunuh.

Tetapi, tidak begitu dengan Haji Masdar. Orang tua itu seakan menyambut kematiannya sendiri.

"Juragan Haji, jika saya menjadi Anda maka saya akan menyerah jika orang-orang yang kita cintai diancam untuk dibunuh." Burhan bicara sambil menyalakan cerutu. Dia duduk di atas kursi yang mengitari para tawanan di rumah itu.

Haji Masdar diam saja. Tubuhnya yang dililit oleh tali tidak bisa bergerak. Matanya kemudian melihat ke arah istrinya kemudian empat orang pembantunya, tiga perempuan dan seorang lelaki pemelihara kuda.

"Juragan, aku mau bertanya padamu. Apakah kau mencintai istrimu?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Hahaha, jika kau mencintai istrimu ... kenapa kau tidak bergeming ketika istrimu diancam untuk dibunuh?"

"Itu bagian dari perjuangan."

"Sepertinya, bukan. Kau memang menginginkan dia mati ...."

Istri Haji Masdar memandang suaminya dengan tatapan tajam.

"Hei, maaf kalau aku terlalu dalam ikut campur urusan rumah tangga kalian. Hahaha."

Haji Masdar menatap nanar Burhan. Orang tua itu begitu benci dengan laki-laki yang berdiri di hadapannya.

Burhan nampaknya tahu jika Haji Masdar sering bertentangan dengan istrinya.  Apalagi setelah kematian Majid, istrinya selalu meminta Haji Masdar untuk menghentikan segala kegiatan Perhimpunan.

Burhan bisa melihat dari wajah istri Haji Masdar jika wanita itu mulai kesal dengan sikap suaminya. Orang tua itu benar-benar memilih mempertahankan keyakinannya daripada menyelamatkan nyawa keluarganya sendiri.

"Tapi, wajar jika Juragan Haji menginginkan istrinya mati ... Dia tidak mau berbagi harta dengan istrinya sendiri hahaha ...." Burhan kembali mencoba menggoyahkan pendirian Haji Masdar.

"So tahu."

"Sudah menjadi rahasia umum jika kau menikahi istrimu ini semata karena harta. Kau ingin menggandakan kekayaanmu dengan menggabungkan harta warisan dari mertuamu. Kau pikir, tanahmu yang sangat luas ini ... kau dapatkan darimana? Kau pintar, Juragan. Menikahi wanita yang kaya ... sedangkan istri pertamamu .... Ah, biarkan ini jadi rahasia ... Hahaha!"

"Diam kau!"

"Kau yang harus diam! Tentukan keputusan sekarang atau ...."

Burhan belum menyelesaikan kalimatnya. Dia terganggu oleh suara-suara teriakan dari luar rumah.

"Hei! Bebaskan Juragan Haji!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang