27

51 18 0
                                    

Pratiwi berjalan beriringan sambil berdendang. Ditemani gadis-gadis lainnya, mereka bersama-sama pergi ke kebun hingga ke tepi hutan berharap bisa mengumpulkan kayu bakar lebih banyak.

"Na na na na ..."

Gadi-gadis itu tertawa menampakan wajah riang tanpa beban. Mungkin mereka terpengaruh oleh nyanyian burung kutilang yang saling bersahutan. Warna bulunya tidak tampak indah karena gelap, tapi suaranya yang indah membuat gadis-gadis itu mengalihkan perhatian. Untuk sesaat, gadis-gadis itu terdiam dan memperhatikan si kutilang bercengkrama.

"Cuit cuit cuit cuwiiwiwiiittt ...."

Kala itu, sudah menjadi kebiasaan ketika seorang gadis mendapatkan tugas mengumpulkan kayu bakar. Ranting-ranting pohon hingga batang yang patah dan jatuh ke tanah dikumpulkannya.

Anak gadis terbiasa mencari kayu bakar ketika matahari mulai meninggi di sebelah timur. Diantara pohon-pohon suren dan pohon sengon yang tinggi mereka mengumpulkan ranting demi ranting.

Diantara pohon itu Pratiwi berteduh sejenak setelah merasakan lelah bekerja. Dia menatap cakrawala yang terang bermandikan cahaya matahari.

Diantara cakrawala yang menghampar luas, Pratiwi menyaksikan seseorang berlari begitu cepatnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah dia ketakutan?

Bagi Pratiwi, ini bukan sesuatu hal yang biasa. Dia bangkit dan berdiri, memicingkan mata demi memperjelas pandangannya.

Siapa dia?

Orang itu beberapa kali hilang karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Pratiwi terus memusatkan perhatian sambil berharap dia bisa melihat secara jelas sosok yang menyita perhatiannya.

"Nyimas, ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatianmu?" seorang temannya bertanya pada Pratiwi.

"Di sana, dekat hutan ... ada orang yang berlari kencang. Nampaknya dia ketakutan."

"Benarkah? Saya tidak melihatnya."

"Ya, sekarang dia terhalang oleh pepohonan."

"Ooo ... mungkin dia ketakutan karena dikejar anjing ... Hahaha ...."

"Husss ...."

Pratiwi tidak terlalu menghiraukan gurauan temannya. Dia kembali melangkah mencari ranting-ranting pohon yang jatuh.

Di sela pekerjaannya, Pratiwi masih saja memikirkan orang yang berlari kencang itu. Bagi dia, bukan hal yang biasa ketika menyaksikan orang berlari begitu kencang apalagi di pinggir hutan. Jika dia dikejar hewan buas, semestinya Pratiwi menyaksikan hewan liar yang mengejarnya. Tapi, sepertinya dia sendirian.

Pratiwi dan gadis-gadis lainnya kembali berdendang. Demi menghibur hati kala raga terasa lelah.

"Na na na na ...."

Namun, nyanyian mereka terhenti ketika sekonyong-konyong ada seseorang yang datang. Dia datang dari arah pinggir hutan sebelah selatan.

"Hah hah hah hah ...," orang itu bernafas dengan tersengal. Dia kelelahan.

Semua gadis pencari kayu bakar menatap orang itu. Keheranan dengan kelakuannya.

"Maaf, kamu kenapa? Seperti sedang dikejar ...," Pratiwi bertanya.

"Eee ... saya mau numpang bertanya ... Desa Pujasari sebelah mana?"

Semua gadis spontan menunjuk ke arah lereng bukit. "Di sana, terus menanjak sampai kau temukan perkampungan."

"Terima kasih."

"Maaf, kalau boleh tahu, mau bertemu siapa ya?"

Orang yang ditanya terdiam. Nampaknya dia menimbang-nimbang sesuatu.

"Kami berjanji, tidak akan berbicara pada siapa pun jika kau menginginkan ini dirahasiakan." Pratiwi mencoba meyakinkan.

"Eeee ...," orang itu merasa aneh dengan pernyataan Pratiwi.

Pratiwi melangkah mendekat. "Kami akan menolongmu, jika kau membutuhkan pertolongan."

Orang itu heran karena Pratiwi bisa membaca pikirannya.

"Aku melihat kau berlari sangat kencang. Kau ketakutan?"

Orang itu menganggukkan kepala.

"Terima kasih sudah sudi memberikan pertolongan."

"Kalau begitu, apa yang bisa kami bantu?"

"Tolong antar saya untuk bertemu dengan Panca."

"Hehehe ... tentu saja." Pratiwi tersenyum ramah. "Aku sepupunya, sangat tahu sedang apa dan di mana dia."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang