Asih terus menangis, sulit berhenti. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang tadi dilihat. Setelah bangun dari pingsan, Asih kembali teringat dengan apa yang telah dia lihat.
"Kakang ...."
"Ikhlaskan, ikhlaskan ...." seorang tetangga memeluk Asih ketika dia berusaha berdiri di beranda untuk menyaksikan orang-orang yang berkerumun.
"Bi, kenapa Kang Majid harus pergi dengan cara seperti ini?"
"Itu sudah takdir dari Alloh, Neng."
Tangis Asih reda ketika dia mendengar teriakan keras dari orang-orang yang berkerumun di halaman rumahnya yang luas. Teriakan itu berawal dari seorang laki-laki bertelanjang dada yang kebetulan sedang membawa sabit.
Karena hari itu kaum pria sedang bekerja di sawah, maka banyak diantara mereka yang membawa perkakas di tangannya. Ketika orang-orang itu berteriak, terlihat mereka mengacungkan perkakas ke atas.
Berita kematian anak orang terpandang di Desa Sugihmakmur cepat menyebar. Dalam waktu singkat, para petani itu berdatangan dari sawah dengan membawa apa yang sedang mereka pegang. Sebagian besar diantara mereka masih terlihat kotor dan bermandikan keringat.
"Pelakunya harus mendapatkan hukuman setimpal!"
"Ya!"
"Kita cari dia!"
Riuh rendah suasana rumah Haji Masdar menjadikan suasana bercampur antara sedih dan marah. Sedih karena kehilangan dan marah karena nyawa itu pergi dengan cara tidak manusiawi. Tidak hanya para laki-laki yang ikut merasakan kemarahan itu, kaum ibu yang menangis tersedu-sedu bahkan cenderung histeris membuat suasana begitu mencekam.
Tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi, anak-anak pun ikut menangis. Mungkin mereka sekadar tersentuh oleh tangisan ibunya atau takut dengan kemarahan ayahnya.
"Bi, Ayah sudah diberitahu?" Asih masih berharap jika Haji Masdar segera tiba di rumahnya.
"Ada orang yang menyusul untuk memberitahu."
"Memangnya menyusul ke mana?"
"Ke Desa Pujasari. Tadi subuh Juragan Haji pergi ke sana."
"Kenapa Ayah pergi sepagi itu ya?"
"Tidak tahu, mungkin ada urusan."
"Pasti ini urusan Perhimpunan."
"Mungkin. Bibi tidak tahu."
Asih mengusap air mata yang masih tersisa di pelupuk mata. Batinnya pun bertanya-tanya. Apakah kematian Kang Majid ada hubungan dengan Perhimpunan yang didirikan oleh Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...