29

44 21 0
                                    

Panca baru selesai mengumpulkan rumput untuk pakan kuda. Ditemani Bajra, rumput segar itu ditumpuk ke dalam keranjang. Bukan kebiasaan mereka berdua mengumpulkan pakan kuda sebelum waktu dzuhur tiba. Tapi, Bajra bersikukuh untuk melakukan "persiapan".

"Alhamdulillah, kita sudah selesai. Sepertinya cukup untuk hari ini." Panca menghela nafas.

"Sebetulnya, belum. Kalau ... besok urusan kita belum selesai, berarti rumput ini harus ditambah lagi."

"Urusan kita? Kau yakin kita akan punya urusan ...."

"Kau mungkin sulit untuk mempercayaiku. Tapi, kegelisahanku ... sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan diriku sendiri ...."

"Jika kita akan mendapati urusan besar ...."

Bajra menganggukkan kepala.

"Sebetulnya, aku sulit mempercayai hal-hal yang ...."

"Bersifat ramalan? Ya, aku sendiri tidak percaya dengan apa yang aku rasakan, Raden. Tapi, kau adalah saksi  jika perasaan gelisah ini sering menjadi sebuah pertanda sesuatu akan terjadi."

Panca pun mengakui hal itu. Dalam beberapa kejadian di masa lalu, Panca menyaksikan sendiri jika sahabatnya itu mempunyai kecerdasan untuk memprediksi hal-hal yang terjadi di kemudian hari.

"Kalau begitu, mari kita pulang. Waktu semakin siang."

"Jangan dulu!"

"Apalagi? Waktu dzuhur akan segera tiba."

"Raden, lihatlah siapa yang datang!"

Panca dan Bajra terperangah dengan kedatangan seseorang yang dikenalnya. Bukan hanya karena bertemu dengan orang yang datang dari tempat jauh, Panca dan Bajra terperangah karena orang itu dalam keadaan yang "tidak baik-baik saja".

"Asih?"

"Panca ... Bajra ... tolong aku!"

Panca memandang Bajra. Kau benar Bajra, sekali lagi benar.

"Asih, apa yang terjadi? Lihatlah dirimu, kau ... kotor ...."

Asih belum sempat menjawab. Pratiwi memotong percakapan Asih dengan Panca dan Bajra.

"Sebaiknya kita berbicara di rumah saja." Pratiwi mengarahkan pandangan pada anak-anak yang berkerumun karena kedatangan orang tak dikenal dengan penampilan menyedihkan.

"Ya, sebaiknya kita bicara di rumah." Panca menyetujui usulan Pratiwi.

Mereka berjalan menuju rumah sembari membawa keranjang yang penuh dengan rumput. Panca, Bajra, Asih dan Pratiwi berjalan diiringi anak-anak yang sebelumnya sama-sama menggembalakan domba dan mencari kayu bakar.

"Kawan-kawan, aku minta ... kalian tidak membicarakan kedatangan Asih dengan siapa pun. Aku minta kalian merahasiakan ini. Bahkan jika orang tua kalian menanyakan, katakan saja dia teman kita yang terjatuh ke lumpur."

"Kenapa harus dirahasiakan, Raden?"

Panca sulit bagaimana harus menjelaskan kepada anak-anak yang berkerumun di belakang mereka. Tapi, buat Panca itu penting demi keselamatan Asih.

"Karena, ini menyangkut keselamatan nyawa seseorang."

Asih heran dengan kalimat yang diucapkan Panca, aku belum bicara apa-apa tetapi bagaimana dia tahu ini berhubungan dengan nyawa?

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang