49

52 17 0
                                    

Gubernur Jenderal baru saja menghabiskan teh yang dibuat oleh seorang bujang. Di kursinya, dia termenung. Di kursi lain, si Staf Khusus terdiam demi memberi waktu untuk atasannya berpikir.

"Jadi, menurutmu ... kita biarkan saja mereka?"

"Siapa Tuan?"

"Anak-anak itu."

"Tuan benar-benar memikirkan mereka. Ah, kenapa repot-repot mengurusi mereka."

"Karena aku merasa ... terjadi sesuatu pada Desa Sugihmakmur."

"Maaf, Tuan. Wilayah Hindia Belanda sangat luas. Kenapa Tuan harus repot dengan desa kecil ...."

"Kecil tapi berarti."

"Maksud saya, para Bupati bisa menyelesaikan urusan di sana."

"Itu pangkal masalahnya. Bupati seakan tutup mata pada kenyataan jika Perhimpunan Pribumi bisa menjadi ancaman serius."

"Mereka hanya buih di lautan, Tuan."

"Buih di lautan pun bisa menggoyahkan laju kapal yang besar."

"Saya masih menilai mereka hanya sebuah perkumpulan yang menginginkan keuntungan. Mereka seakan mengajak kita bernegosiasi. Sama seperti perusahaan lainnya."

"Mereka gerakan politik."

"Mereka tidak memiliki senjata, Tuan. Kita tidak usah takut."

"Aku tidak takut. Hanya tidak ingin menjadikan Batavia ini ladang kekacauan."

"Kita lebih kuat, Tuan."

"Hahaha, kesombongan kita bisa menjadi senjata makan tuan. Ingat, kita sendiri yang mendidik mereka untuk bisa membaca dan menulis."

"Maksudnya?"

"Mereka bisa menyebarkan ide Perhimpunan itu melalui tulisan, Tuan ... dan ... tulisan bisa menembus kepala jutaan orang, dibanding senapan."

"Maaf, Tuan. Apakah Tuan masih menganggap orang Eropa lebih kuat dibanding orang pribumi?"

"Tuan, mereka bukan kera. Mereka manusia yang bisa belajar. Dan, dengan belajar itulah mereka bisa menyingkirkan kita ... cepat atau lambat!" suara Gubernur Jenderal jadi meninggi.

Si Staf Khusus menghela nafas. Tangannya memegang kerah baju demi memberi ruang bagi tubuhnya untuk menghirup banyak udara.

"Aku masih berpikir jika Hindia Belanda adalah sekumpulan para pedagang yang ingin mencari keuntungan."

"Saya mengerti."

"Berarti keuntungan adalah tujuan utama kita. Ketika mereka mencoba memantik api, maka kita harus segera memadamkannya. Ingat, memadamkannya dengan air bukan justru menyiramnya dengan minyak."

Gubernur Jenderal beranjak dari tempat duduknya, dia berjalan ke arah jendela. Matanya menatap ke arah jalan raya. Diantara lampu jalan, dia menyaksikan empat orang remaja yang menikmati makanan serta dua ekor kuda yang merebahkan tubuhnya.

"Mereka menunggu kita."

"Maaf Tuan, apa yang akan Tuan sampaikan pada mereka."

"Jika benar salah seorang diantara mereka adalah anaknya Haji Masdar, maka kita bisa memanfaatkan itu untuk bernegosiasi."

"Eee, ada hal yang mengganggu pikiran saya tentang Haji Masdar."

"Apa itu?"

"Eee ... dia tidak bisa diajak bicara dengan menggunakan keluarga."

"Maksudnya?"

"Beberapa waktu lalu anaknya dibunuh seseorang, tetapi dia tidak mengurungkan niatnya barang sedikit pun."

"Kau yang memerintahkan pembunuhan itu?"

Si Staf Khusus tidak menjawab. Gubernur Jenderal tahu isyarat itu.

"Ah, lalu apa saranmu?"

"Kita kembalikan aset miliknya kepada negara."

"Terlalu mahal jika kita sendiri yang mengurusnya."

"Tidak, bukan kita yang mengurusnya."

"Lantas?"

"Kita serahkan kepada orang lain, yang sudah dikenal warga desa itu."

Gubernur Jenderal terdiam, berpikir sejenak. "Terima kasih sudah memberiku pencerahan."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang