10

67 22 0
                                    

Jenazah mendiang Majid sudah dimandikan dan disholatkan. Jenazah akan dimakamkan di pemakaman umum desa yang jaraknya tidak terlalu jauh. Keranda dibopong oleh 4 orang laki-laki keluar dari masjid dan diikuti oleh ratusan pengiring jenazah.

Panca dan Bajra ikut serta dalam rombongan iring-iringan jenazah itu. Diantara para pria dewasa, mereka berjalan keluar dari pekarangan rumah menuju jalan desa.

Keranda yang ditutup kain warna hijau, dibopong paling belakang. Sedangkan dari depan, para lelaki berjalan dengan langkah tergesa sambil terus meneriakkan pekikan perlawanan yang tidak juga reda.

"Lawan! Lawan!"

"Belanda bajingan!"

Riuh rendah suara orang berteriak membuat suasana begitu tegang. Bagi Bajra, ini bukanlah suasana selayaknya upacara pemakaman. Ini seperti suasana perang.

Ketika orang-orang berjalan tergesa, datang dari arah berlawanan seorang lelaki bertelanjang dada. Kakinya kotor, sepertinya dia baru menggali tanah karena warna tanah yang menempel cenderung merah.

"Bagaimana, sudah selesai menggali kuburnya?" laki-laki paling depan bertanya.

"Sudah-sudah ... tapi bukan itu yang akan aku sampaikan ... mereka ...."

"Mereka siapa?"

"Mereka ... dari Biro Urusan Pangan ada di ujung jalan ... menunggu kita!"

Semua orang berhenti berteriak-teriak. Keranda pun berhenti dibopong. Diantara mereka saling bergumam.

"Kau yakin?" Haji Masdar bertanya dengan berteriak sambil berjalan mendekati si penggali makam itu.

"Iya, Juragan Haji. Mereka orang-orang yang tempo hari datang."

Haji Masdar berpikir. Dia menatap ke arah Raden Bakti yang berdiri tidak jauh darinya. Raden Bakti menggelengkan kepala.

"Mereka membawa apa saja?"

"Seperti biasanya, membawa sepuluh pedati disertai pengawalan orang-orang dengan senapan."

Srrrr, dada Haji Masdar berdesir. Dia menimbang-nimbang keadaan.

"Kita lawan mereka!" seorang laki-laki berteriak mengajak massa untuk beraksi.

Haji Masdar hanya terdiam. Dia dilema, antara keinginan untuk melampiaskan amarahnya pada pegawai Pemerintah atau menenangkan massa.

"Tenang, tenang! Ingat, kita akan menguburkan jenazah."

Haji Masdar mencoba menenangkan massa, tetapi tampaknya mereka sulit menahan amarah yang sudah memuncak. Ada diantara mereka yang sengaja berjalan sendiri tanpa menghiraukan kata-kata Haji Masdar. Orang itu berjalan tergesa bahkan setengah berlari agar bisa bertemu dengan rombongan Biro Urusan Pangan yang sudah menunggu di persimpangan.

"Hei, tunggu kau mau ke mana?"

Ternyata seorang Haji Masdar tidak bisa mengendalikan keadaan. Wibawa pria tua itu tidak sanggup menghentikan gejolak amarah massa. Dia kewalahan.

Sikap satu orang ternyata merembet pada yang lain. Pengiring jenazah itu ramai-ramai berlari demi segera bertemu dengan rombongan Biro Urusan Pangan.

Tidak membutuhkan waktu lama kedua kubu yang berbeda bisa saling bertemu. Di persimpangan jalan, kedua massa pun itu bertemu.

Tapi, mereka yang tersulut amarah berhenti melangkah. Massa yang menjadi lawannya membawa senapan serta siap memuntahkan peluru.

Kini mereka saling berhadapan.

"Hei bangsat, kalian yang sudah membunuh Cep Majid kan?"

"Tenang, saudara-saudara sekalian. Kalian tidak bisa menuduh tanpa bukti." Pria berpakaian serba putih meladeni massa yang langsung menunjuk wajahnya.

"Kalau bukan kalian, siapa lagi?"

"Tidak tahu, kami datang ke sini baik-baik. Berniat baik, hanya untuk membeli padi. Tidak ada niat lain."

"Alah, kalian banyak berkelit."

Tanpa disangka, seorang pria maju melangkah dan bermaksud menerjang pria berbaju putih itu. Tapi, itu dia gagal.

Dorr! Peluru pertama akhirnya keluar juga.

Peluru itu mengenai kaki si penerjang. Dia berteriak kesakitan. "Ahhhh!"

Mereka yang menyaksikan, mundur dan diam. Tidak ada yang berani bicara kasar lagi. Tidak ada juga yang berani menerjang.

"Hei, siapa yang memerintahkanmu menembak!" Pria berbaju putih itu marah besar.

Untuk beberapa saat kedua kubu itu saling tatap. Kubu yang satu siap dengan senapannya. Kubu lainnya tidak berani bergerak karena takut ditembak.

Suasana begitu menegangkan.

Mereka yang menyaksikan khawatir jika nyawa bisa melayang. Dan itu kesia-siaan.

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba ada orang datang sambil berteriak kencang, "Hei kalian, jangan bertengkar!"

"Neng Asih?"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang