15

48 23 0
                                    

Memetik daun kangkung menjadi sebuah kegiatan yang sering dilakukan Asih ketika hari masih pagi. Begitupun pagi itu, Asih baru saja selesai memetik daun kangkung di pinggir kolam ikan.

Dengan ayakan di pinggang yang penuh dengan hasil petikannya, gadis itu berjalan berlenggak-lenggok. Sesekali dia berdendang demi melupakan duka yang menerpa. Wajahnya kini terlihat cerah dan murung pun perlahan hilang.

"La la la ..."

Bernyanyi menjadi usaha menghibur diri sendiri. Walaupun suasana hati bisa berubah tiba-tiba.

"Mereka ...." Asih berhenti melangkah. Dia berdiri terpaku ketika melihat rombongan pria berkuda di pekarangan rumahnya.

"Kang, mereka anak buah Tuan Burhan?" Asih bertanya pada laki-laki yang mengawalnya.

"Iya, Neng."

Laki-laki dewasa yang sedari tadi mengawal gadis itu sama-sama terdiam. Dia melihat rona wajah yang tidak biasa pada Asih.

"Neng, ada apa?"

"Orang itu ...," Asih tidak menyelesaikan kalimatnya.

Asih menjatuhkan ayakan yang berisi daun kangkung. Bluurr, sayuran itu berserakan di tanah.

"Neng Asih ... Neng Asih ...." Si pengawal keheranan dengan kelakuan orang yang dikawalnya setiap hari itu.

Asih berlari dan masuk ke dalam rumah melewati pintu belakang. Kakinya masih kotor karena tidak terpikir untuk membasuh tubuh setelah berkubang di dalam lumpur. Gadis itu langsung masuk ke ruang tengah dan di sana dia berdiri di balik tembok. Mengintip.

Deg deg deg, jantung gadis itu berdebar.

"Asih, kamu jangan berdiri di sini!"

"Eh, Ibu. Aku kaget."

"Itu kaki kamu belum dibasuh. Bersihkan dulu."

Ibunya membaca gelagat tidak baik pada anaknya.

"Ada apa, Nak? Kamu terlihat ketakutan ..."

Asih tidak langsung menjawab. Dia semakin terlihat gemetaran.

"Ibu, aku melihat orang itu di luar."

"Orang itu, siapa?"

"Orang yang aku lihat berada di lumbung padi ketika Kang Majid meninggal."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang