"Paman, silakan periksa rumah kami. Orang yang Anda maksud tidak ada."
Panca mempersilakan pria-pria berkuda itu untuk memeriksa rumahnya. Anak remaja itu tidak ingin dituduh menyembunyikan orang yang dicari-cari oleh para laki-laki berjenggot dan berkumis tebal di hadapannya.
Mata mereka tertuju pada rumah di hadapannya. Seseorang diantara mereka masih mengarahkan senapan pada wajah Panca. Tentu saja, anak remaja itu takut. Bola matanya melihat jelas lubang senapan yang jaraknya hanya sejengkal dari hidung.
Mereka yang masih duduk di pelana kemudian turun. Mereka masuk ke dalam rumah bermaksud mencari seseorang yang dicurigainya.
"Ke mana ayahmu?"
"Ayah saya sedang berkunjung ke Batavia."
"Ibumu?"
"Pergi ke rumah kerabat yang meninggal."
"Jadi kau ... sendiri di sini?"
"Ya, saya sendirian."
Setiap ruangan diperiksa laki-laki itu. Dari kamar, ruang tengah hingga dapur. Namun sayang, orang yang dimaksud tidak ditemuinya.
Komplotan itu kembali berkumpul di pekarangan rumah. Mereka saling menggelengkan kepala. Hasil kerjanya nihil.
"Lalu, nampaknya kau sudah rapih. Mau ke mana?"
"Saya mau menyusul ibu saya."
"Benarkah? Kenapa menyiapkan 2 kuda?"
"O, seekor lagi untuk teman saya." Panca mengarahkan pandangan pada Bajra.
Bajra menganggukan kepala. Dia tersenyum, sebuah senyuman yang terpaksa.
Mereka belum puas mencari. Salah seorang diantara mereka mendatangi anak kecil yang sedari tadi berkerumun. Anak itu ketakutan bahkan bermaksud untuk berlari.
"Hei, kau mau ke mana?"
Si anak tidak jadi berlari karena tangannya berhasil tergapai. Dia tidak bisa mengelak. Wajahnya semakin terlihat ketakutan. Dia melirik ke orang-orang dewasa yang hanya menunggu dan berharap tidak terjadi apa-apa dengannya.
Penduduk Pujasari nampaknya sudah paham jika mereka harus memperlihatkan sikap ramah pada tamu asing. Makanya mereka bermaksud menyambut dengan menghampiri. Namun, justru orang asing itu bersikap tidak ramah.
Kini, anak kecil itu seperti tersandera.
"Hei, apakah kau melihat seorang gadis yang datang ke kampung ini?"
Anak kecil itu tidak menjawab. Dia malah melihat ke arah Panca. Orang yang dilihatnya tidak memberikan ekspresi.
"Katakan saja. Kau tidak usah meminta persetujuan Raden ... Siapa namanya?"
"Raden Panca, Paman."
"Ya, katakan saja apa yang aku tanyakan. Tidak usah hiraukan apa yang dikatakan Raden Panca."
"Eee ... tadi ... ada seorang gadis datang ...."
"Terus?"
"Tapi sekarang ... dia sudah pergi."
"Pergi ke mana?"
Anak kecil itu belum menjawab. Orang tuanya ternyata merasakan kekhawatiran ketika si anak ditanya oleh orang yang menenteng senjata.
"Tuan, saya mohon ... jangan sakiti anak saya ...."
"Tidak ... aku tidak akan menyakitinya kalau dia berkata jujur."
Si orang tua lega karena si penanya bangkit berdiri dan melepaskan tangan anak kecil itu. Si anak pun berlari ke arah kedua orang tuanya, meminta perlindungan.
Tetapi, si penanya mulai gusar ketika dia berbalik badan. Matanya tidak melihat orang yang sebelumnya diintrogasi. Panca tidak ada di tempatnya semula berdiri.
"Ke mana anak itu?"
Semua orang tidak menemukan Panca. Mata mereka melihat ke sekeliling. Heran dengan Panca yang tiba-tiba pergi, menghilang.
"Ha! Itu dia!"
Tuk tak tuk tak, suara kuda berlari ke arah gapura desa. Kedua kuda yang sedari tadi merumput di halaman, kini membawa penunggang yang hendak pergi meninggalkan kerumunan.
"Kejar mereka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...