64

47 17 0
                                    

"Sekitar tiga puluh tahun lalu, dua orang laki-laki bekerjasama membabat hutan. Mereka berdua bermaksud membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan lahan untuk bercocok tanam."

"Tuan Burhan, kami tidak sedang ingin mendengar dongeng." Sang Komandan mulai gusar dengan gaya bicara Burhan yang suka bertele-tele.

"Tidak, ini bukan dongeng ... tapi ini tentang Masdar dan mendiang Maskur ... ayah saya." Burhan menatap tajam Haji Masdar.

"Kau bicara apa, Burhan? Aku tidak mengerti." Haji Masdar mencoba mengelak.

"Ini tentang seorang Haji Masdar yang dielu-elukan banyak orang ternyata seorang pembunuh dan perampas!"

"Tuduhanmu tidak berdasar! Itu masa lalu? Darimana kau tahu? Berapa usiamu sekarang? Kau belum lahir kan?"

"Aku sudah lahir waktu itu. Kau ingat seorang bayi bersama ibunya yang kau antar ke pelabuhan? Kemudian kau jual mereka sebagai budak yang dikirim ke Borneo?"

Haji Masdar terdiam.

"Aku bayi itu, Masdar! Aku bersama ibuku kau buang ke tempat yang jauh ... setelah kau membunuh ayahku."

"Aku tidak membunuhnya!"

"Oh, kau boleh berkelit tapi ibuku menyaksikan sendiri bagaimana kau membuhuh ayahku ... Waktu itu, di malam saat kelahiranku kau mengajak ayahku untuk pergi berburu ... dan ... ayahku tidak pulang hingga kini."

"Kau mengarang ...."

"Ya, silakan saja kau berpikir begitu. Dan asal kau tahu ... sebenarnya ... ibuku tahu betul dimana kau mengubur ayahku. Nalurinya membawa dia ke suatu tempat ... yang tidak jauh dari tempat ini."

"Kau pintar mengarang cerita."

"Kau yang pintar mengarang cerita ... karena kuburan keramat di pemakaman desa itu bukanlah kuburan leluhur siapa pun tapi ... itu kuburan ayahku!"

"Hahaha ... kau pikir orang akan percaya ceritamu!"

"Ibuku pernah bilang ... kau mengubur ayahku tepat di dekat pohon beringin ...."

"Itu makam leluhurku ...."

"Kau katakan itu pada semua orang ... bahkan kau mengeramatkan kuburan itu agar tidak ada orang yang menyentuhnya."

"Tidak ada bukti bahwa itu kuburan ayahmu."

"Mungkin kau bisa mengelak. Tapi, kami di Pemerintah punya arsip yang menunjukan siapa pengelola lahan ini."

"Ah, kau bisa saja membuatnya sendiri."

"Masdar, tiga puluh tahun itu bukan waktu yang lama. Masih banyak orang yang hidup dan menjadi saksi bagaimana ayahku ikut mengelola lahan seluas ini. Kau lupa, jika mereka pun buka suara ...."

"Tidak banyak orang yang hidup di sini waktu itu. Mana mungkin kau bisa menemukan saksi kejadian 30 tahun lalu."

"Memang, waktu itu Desa Sugihmakmur hanya dihuni dua keluarga. Ayahku, ibuku, kau ... dan ... istrimu ...."

Haji Masdar menampakan wajah tegang.

Burhan menunjuk ke arah anak buahnya yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamar utama. Tidak butuh waktu lama bagi pria berpakaian serba hitam itu untuk menggelandang seorang tawanan yang sejak siang kemarin dikurung di kamar.

"Ibu sudah menceritakan semuanya ...," tawanan itu bicara sambil meneteskan air mata dari pelupuk matanya yang terlihat lelah.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang