9

78 20 0
                                    

"Raden, kau mendengar percakapan mereka tadi?" Bajra membuka percakapan setelah jarak mereka jauh dengan iring-iringan pedati di belakangnya.

"Ya, mereka membahas pembunuhan."

"Mungkinkah mereka yang membunuh anak Juragan Haji?"

"Ah, kita tidak punya bukti apa-apa. Mungkin mereka membicarakan pembunuhan di tempat lain."

Bajra dan Panca menduga-duga apa yang sebenarnya dibicarakan oleh orang-orang yang baru saja ditemuinya. Kecurigaan kedua anak itu cukup beralasan karena ketika akan melayat korban pembunuhan ternyata ada orang yang membicarakan hal yang sama.

"Sebenarnya siapa mereka?" Bajra kembali bertanya-tanya.

"Jika dilihat dari pakaiannya, mungkin mereka pegawai pemerintah."

"Tunggu, kalau benar mereka pegawai pemerintah ... bukankah selama ini Juragan Haji bertentangan dengan pemerintah?"

Panca menatap Bajra. Panca mulai mengerti arah pembicaraan sahabatnya.

Percakapan mereka berdua terhenti ketika mendengar orang-orang yang berteriak di halaman sebuah rumah. Teriakan yang menggema sehingga bisa membuat gentar orang yang mendengarnya.

Panca dan Bajra menambatkan kuda di pohon jambu sebelum masuk ke pekarangan. Keduanya menyaksikan keriuhan yang tidak biasa dilihat. Karena belum tahu apa yang tengah terjadi, Panca dan Bajra hanya berdiri menyaksikan orang-orang yang berkumpul itu.

"Ini sudah termasuk penghinaan pada  kita sebagai orang pribumi!" seorang lelaki tua berjenggot putih terlihat membakar emosi massa.

"Mereka orang asing yang mengacak-acak kehidupan kita sebagai orang pribumi! Ini tidak bisa dibiarkan!" pria itu terus menggelorakan perlawanan.

Panca dan Bajra mulai mengerti kenapa orang-orang yang berkumpul di pekarangan rumah Haji Masdar begitu riuh. Teriakan demi teriakan keluar dari mulut mereka. Emosi orang-orang itu terbakar oleh kata-kata yang keluar dari Haji Masdar.

Ini bukan lagi urusan kecil. Dan, ini juga yang aku khawatirkan.

Kegelisahan Panca yang sebelumnya hanya dugaan belaka, kini kegelisahan itu semakin membesar. Kemudian dia teringat pada ayahnya _Raden Bakti_ yang sudah tiba di tempat ini sebelumnya.

"Bajra, kita harus temui ayahku."

"Ya, kukira juga begitu."

Panca dan Bajra berjalan mengitari kerumunan orang-orang yang ternyata semakin bertambah. Terlihat  beberapa orang yang baru saja tiba ke  tempat itu dengan berjalan kaki dan ada juga yang berkuda.

Panca kesulitan melihat dimana ayahnya berada. Mungkin sekali dia ada dalam kerumunan. Mata Panca memperhatikan orang-orang yang berdiri di bawah terpaan sinar matahari itu.

"Tidak ada, Raden," Bajra memastikan.

"Ya, mungkin di halaman belakang rumah."

Panca dan Bajra berjalan menjauhi kerumunan. Mereka berdua mengitari rumah berukuran besar itu. Semakin ke belakang, tampak betapa luasnya pekarangan rumah itu. Pohon buah-buahan tumbuh subur di sana. Selayaknya kebun buah-buahan yang menyediakan berbagai jenis buah sesuai musimnya.

"Hei, ada keperluan apa?" seorang gadis bertanya pada Panca dan Bajra.

"Kami mencari Ki Lurah Bakti."

"Raden Bakti sedang memandikan jenazah."

"Oh, terima kasih kalau begitu. Kami pamit."

"Kau anaknya Raden Bakti?" gadis itu kembali bertanya.

"Iya, saya Panca dan ini sahabat saya Bajra."

"Baiklah, aku panggilkan." Gadis itu beranjak dari bangku di bawah pohon rambutan.

"Terima kasih, Nyi."

"Asih, panggil aku Asih."

Gadis itu berjalan ke arah tenda yang dipasang untuk memandikan jenazah. Tenda yang dibuat dengan kain-kain batik yang dibentangkan untuk menghalangi jenazah dari penglihatan orang yang tidak diperkenankan.

"Dia anaknya Juragan Haji?" Bajra berbisik pada Panca.

"Sepertinya."

"Mukanya ketus sekali."

"Mungkin dia sedang bersedih. Wajar."

Tidak lama kemudian Raden Bakti menghampiri Panca dan Bajra. Tangannya diusapkan ke baju yang dikenakan.

"Panca, Bajra. Kalian sudah tiba."

"Ayah, ini gawat."

"Gawat kenapa?" malah Asih yang bertanya balik.

Panca terdiam.

"Katakan, ada apa? Kalau ini ada hubungannya dengan keluargaku, aku berhak tahu."

Aduh, omonganku didengar gadis itu.

"Katakan saja." Raden Bakti meyakinkan.

"Di jalan desa, ada iring-iringan pedati yang membawa padi ...," Panca belum menyelesaikan kalimatnya.

"Mereka orang-orang itu," Asih memotong kalimat Panca.

"Siapa, Neng?"

"Orang dari Biro Urusan Pangan."

"Orang Pemerintah."

"Ya, Paman. Tolong, bantu aku untuk meredakan amarah ayah. Jangan sampai massa terbakar emosinya ...." gadis itu memegang tangan Raden Bakti. Dia memohon dengan memasang wajah memelas dan  hampir meneteskan air mata.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang