Beberapa hari kemudian ...
Asih termenung pagi itu. Tidak seperti biasanya gadis itu begitu kurang bersemangat menyambut hari. Dia duduk di atas dipan yang berada di bawah pohon rambutan.
Matanya menatap sesuatu di depannya tapi pikirannya tidak pada apa yang dilihatnya. Seekor ayam jago yang menggoda ayam betina tidak menarik minat gadis itu. Padahal biasanya dia sering menjadikan hewan-hewan itu sebagai bahan hiburan kala pagi tiba.
"Neng, jangan ngelamun pagi-pagi" seorang pembantu rumahnya mengingatkan anak itu.
"Saya tidak melamun, Bi."
"Dari tadi Bibi lihat Neng Asih seperti memikirkan sesuatu," perempuan setengah baya yang dipanggil "bibi" itu tangannya sibuk memilah-milah beras di atas tampah.
"Saya hanya memikirkan Bapa. Kenapa Bapa bersikeras dengan pendiriannya."
"Kalau itu, Bibi tidak tahu. Tidak paham, Neng."
"Saya merasa terjebak dalam keadaan yang serba terjepit."
"Maksudnya, Neng?"
"Satu sisi saya putri dari seorang pemimpin Perhimpunan, tapi di sisi lain saya tidak setuju dengan kegiatan-kegiatan Perhimpunan."
"Lho, kegiatan Perhimpunan itu kan bagus. Agar kita sebagai orang pribumi bisa mandiri ...."
"Tapi kenapa harus bertikai dengan Pemerintah ...."
Asih beranjak dari tempatnya duduk. Dia berjalan menuju arah beranda rumah.
Asih berharap ada suasana yang berbeda pagi itu. Tapi, lagi-lagi Asih menemukan ayahnya sedang berdiskusi dengan pengurus Perhimpunan. Asih mendengar sesuatu yang tidak asing lagi di telinganya.
"Juragan, kita siap melanjutkan rencana yang tertunda."
"Baiklah, kita lanjutkan apa yang sebelumnya tertunda." Haji Masdar mengisap rokok sambil menengadah ke langit. Menerawang.
"Saya dan teman-teman yang lain akan menghubungi para petani di desa sekitar Batavia. Besok pagi kami akan berangkat."
"Selebaran yang kita susun sudah siap?"
"Sudah siap sejak beberapa hari lalu. Kita cetak dengan Bahasa Melayu dan semoga mereka mengerti maksud kita."
"Tapi, ingat. Jangan sampai orang Pemerintah tahu."
"Saya pikir cepat atau lambat mereka akan tahu."
"Tidak apa-apa kalau kita sudah satu suara. Jika mereka bertindak, setidaknya kita sudah siap melawan."
Asih menguping dari sudut pekarangan di balik tembok. Kelakuannya tidak diketahui Haji Masdar tapi diketahui pembantunya.
"Neng Asih sedang apa di situ?"
"Sssstt, Bi." Asih mendekatkan telunjuknya ke bibir.
Percakapan mereka terdengar oleh Haji Masdar. Pria tua itu menyahut pada anaknya dengan nada keras, "Asih, kau menguping? Itu tidak sopan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...