Asih duduk di lantai papan dengan berlinang air mata. Panca, Bajra dan Pratiwi mendengarkan dengan seksama.
Asih membeberkan latar belakang kenapa dia bisa berlari begitu kencang hingga sampai di Desa Pujasari. Nyawa dirinya dan keluarganya yang diancam, menjadi tema pokok dari sekian panjang lebarnya dia berbicara. Sesekali, Bajra dan Panca bertanya tentang duduk perkara kenapa ancaman pembunuhan itu datang.
Asih membeberkan sejarah singkat desanya hingga bisa makmur seperti saat ini. Pengetahuan itu didapatkannya dari orang tua yang tinggal di sana sedari desa itu masih berupa hutan belantara.
"Sejarah Desa Sugihmakmur mirip dengan Desa Pujasari ya," Bajra mengungkapkan kesimpulan dari cerita Asih.
"Ya, tapi bedanya ... Juragan Haji tidak mau mengakui Pemerintahan Hindia Belanda," Panca menambahkan.
"Itulah yang selama ini aku khawatirkan. Keengganan Bapa untuk mengakui keberadaan Pemerintah malah dituduh sebagai bentuk pemberontakan ... Dan, itu merenggut nyawa warga."
"Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan ...."
"Tidak, Bapa tidak sedang berjuang untuk warga ... Bapa ..."
"Ingin menjadi raja?" Bajra menebak arah pembicaraan Asih.
"Hei, hati-hati dengan prasangkamu, Bajra." Pratiwi mengingatkan Bajra agar menjaga perasaan Asih dengan tidak menyebutkan tabiat ayahnya.
"Tidak, Pratiwi. Bajra benar ...," Asih menganggukkan kepala sambil terus menyeka air matanya yang mengalir.
Panca terdiam, setuju dengan pernyataan Bajra.
"Kami hidup berkecukupan, lebih dari cukup. Dan itulah modal bagi seseorang untuk menguasai orang-orang di sekitarnya," Asih meneruskan kalimatnya.
"Itu seperti keluarga kami," Panca membandingkan, "makanya kami disebut Raden dan Nyimas."
"Tapi kekuasaan yang kami miliki dijadikan sarana untuk menolong warga desa agar bisa hidup aman, tenteram dan damai," Pratiwi mempertegas pernyataan Panca.
"Tapi Bapaku sebaliknya. Dia melawan Pemerintah dengan menjadikan warga ...."
"Sebagai pasukan," imbuh Bajra.
Asih mengangguk.
"Bagaimana kau bisa memahami situasi ini, Asih? Maksudku, bukti apa untuk mendukung dugaanmu jika Juragan Haji ingin menjadi penguasa yang berdiri sendiri."
"Awalnya, aku hanya mencuri dengar perbincangan Bapa dengan orang-orang dekatnya. Akhir-akhir ini Bapa sering berbicara tentang 'boikot', 'lawan', 'penjajah' dan banyak kata yang menandakan jika Bapa sudah mulai membelokan tujuannya mendirikan Perhimpunan."
"Ya, kami juga mendengar Juragan Haji mengajak Kepala Desa Pujasari untuk turut serta dalam perhimpunan."
"Tapi Raden Bakti menolak, kan? Aku tahu ketika nama ayahmu disebut-sebut sebagai, -maaf- 'kacung penjajah'. Jadi, Bapa mulai menganggap orang yang berseberangan pendapatnya sebagai musuh."
Panca, Bajra dan Pratiwi menghela nafas. Ternyata masalah yang dihadapi Asih begitu berat.
"Ini masalah orang dewasa, apakah kita mampu menyelesaikan ini?" Bajra bertanya dengan nada tanpa semangat.
"Tidak, jangan. Jangan melibatkan orang dewasa atau siapa pun yang dianggap ...."
"Kacung penjajah, aku mengerti."
"Tadinya aku ingin meminta tolong pada Ayahmu, Panca. Tapi, Raden Bakti kan kepala desa. Maaf, aku ragu jika seorang kepala desa bisa menjadi penengah dalam masalah ini."
"Tidak mungkin, karena yang sedang mengancam keluarga Asih adalah sama-sama orang Pemerintah," Pratiwi memberikan saran.
"Lalu, bagaimana kami harus menolong dirimu?"
Asih menggelengkan kepala. Bingung.
"Menurutku, orang yang bisa menghentikan perilaku buruk pegawai Pemerintah adalah pejabat yang lebih tinggi darinya," Bajra memberikan kesimpulan.
"Siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...