65

45 16 0
                                    

"Kang Masdar, kita ini sudah tua. Dan, tidak seharusnya kita terus-terusan menyimpan rahasia," istri Haji Masdar membuka pembicaraan.

"Biarlah masa lalu terkubur oleh waktu."

"Ya, mungkin itu menurut Akang. Tapi, hatiku tidak sekuat Akang. Seumur hidup aku dihantui rasa bersalah."

"Apa salahmu, kau tidak bersalah apa-apa?"

"Tidak bersalah, kau katakan aku tidak bersalah. Padahal aku sudah menutupi kebusukanmu dengan ... kebusukan kita ... selama puluhan tahun."

"Mungkin kau lelah, Ros. Kau hanya perlu berisitirahat. Pikiranmu sedang kacau ...."

"Ragaku sehat-sehat saja. Tapi jiwaku sakit. Karena ... dosa yang kita lakukan ternyata mendapat balasan."

"Ini bukan balasan atas sebuah dosa, ini resiko perjuangan."

"Kau berpikir begitu ... selalu berpikir begitu ... bahkan nyawa anak-anak kita telah direnggut pun kau masih berpikir begitu ...."

Haji Masdar terdiam.

"Sebelum aku mati, biarkan semua orang tahu ... termasuk Asih ..." wanita itu menatap Asih yang berdiri di ujung pekarangan, "jika kita telah membunuh Kang Maskur, karena ...."

"Cukup! Hentikan ocehanmu!"

"Kang Maskur dibunuh oleh tangan Akang sendiri karena dia menjadi saksi pembunuhan Ceu Aminah ... istri pertamamu."

"Kau sendiri yang meminta dia untuk disingkirkan!"

"Tidak, aku hanya meminta kau menceraikannya bukan melenyapkannya!"

"Tapi kau senang karena dia telah mati!"

"Senang, kau berpikir aku senang melihat dia mati! Justru aku ketakutan ... ketakutan akan dosa yang kutanggung. Dan, takut oleh ancamanmu ... kau tidak mau membiarkanku bebas dengan tetap menjadi istrimu ... lebih tepatnya, menjadi tawananmu ... selama 30 tahun ...."

"Hei, kau lupa ... jika kau sendiri menikmati semua kekayaan ini?"

"Tidak, bahkan Alloh memberi kita banyak sekali peringatan."

"Ah, itu hanya perasaanmu saja."

"Kau masih berpikir jika itu bukan peringatan dari Alloh? Kau masih berpikir jika kegagalan kita menjadi haji bukan peringatan dari Alloh?"

Orang yang mendengar saling pandang satu sama lain. Puluhan polisi yang awalnya siap menembak, kini mengendurkan lengannya. Mereka memilih menyimak percakapan suami-istri itu dibanding fokus untuk mengarahkan moncong senapan.

"Kita bukan haji, kita tidak pernah melaksanakan ibadah haji! Kau dan aku tidak berhak disebut 'juragan haji'."

Haji Masdar menatap istrinya dengan mata melotot.

"Hidup kita penuh kebohongan!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang