30

45 18 0
                                    

Sebelum kembali mengikuti bagaimana nasib Haji Masdar di tangan Burhan, marilah sejenak kita melihat bagaimana Desa Sugihmakmur ketika masa menanam padi sudah dimulai. Hamparan sawah yang begitu luas seakan tidak terbatas. Kemanapun mata memandang, maka sawah menjadi seakan tidak pernah ada batasnya.

Hampir setiap hari warga Desa Sugihmakmur menggarap sawah. Mereka bekerja membajak, mencangkul, menandur hingga panen tiba. Bagi sebagian besar warga Sugihmakmur, bertani adalah mata pencaharian utama. Dan, padi sebagai satu-satunya komoditas yang bisa mereka perjual-belikan.

Namun, tidak ada seorang pun yang memiliki sawah sebagai lahan garapan. Semua sawah yang luas itu adalah milik Haji Masdar.

Haji Masdar memperbolehkan siapa pun untuk menggarap sawah miliknya. Dengan pola kerjasama "mertelu" maka si penggarap mendapatkan bagian 1/3 dari keseluruhan hasil panen. Sedangkan 2/3 sisanya sebagai milik Haji Masdar.

Pertanian yang diterapkan sepenuhnya mengandalkan sumberdaya yang tersedia di desa. Pupuk alami seperti kotoran kerbau, sapi, kuda dan kambing hingga jerami menjadi andalan. Ketika musim panen seperti hari itu, jerami dijadikan pakan kerbau dan sapi kemudian hewan itu diperkerjakan untuk membajak atau mengangkut hasil panen.

Pada awalnya, Desa Sugihmakmur ini sepi dari penduduk. Tetapi, kemudian beberapa warga diperbolehkan menetap dan membina keluarga di sana. Mereka membangun rumah di atas tanah milik Haji Masdar.

Dalam waktu bertahun-tahun, terbentuklah komunitas petani dengan hasil panen yang senantiasa berlimpah. Karena itulah Desa Sugihmakmur terkenal sebagai lumbung padi. Hasil panennya biasa dijual ke berbagai daerah terutama perkotaan di sepanjang pantai utara Jawa.

Jika dilihat dari tata kelola pemerintahan, Desa Sugihmakmur ini berusaha "memisahkan diri" dari Pemerintah Hindia Belanda. Secara wilayah geografis, desa ini termasuk wilayah desa tetangganya. Tetapi, secara "politis" Desa Sugihmakmur benar-benar tidak mau mengakui kepemimpinan kepala desa di desa tetangganya.

Haji Masdar, sebagai tokoh masyarakat sekaligus pemilik tanah di sana sengaja membatasi desa dengan kebun kelapa dan hutan jati. Sehingga, jika dilihat dari udara maka Desa Sugihmakmur seperti hamparan sawah di tengah hutan.

***

Karena alasan geografis dan alasan politis itulah, Haji Masdar berani menyatakan diri sebagai desa yang berdikari. Bahkan menyelenggarakan "pemerintahan" sendiri. Dimana dirinya sebagai pemimpin.

Awalnya, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Desa Sugihmakmur hanyalah hamparan wilayah pertanian layaknya perusahaan agribisnis yang biasa ditemui di seluruh pulau Jawa. Desa Sugihmakmur dianggap sebagai perusahaan dimana Haji Masdar sebagai "direktur"-nya.

Pemerintah Hindia Belanda melalui Biro Urusan Pangan sering melakukan transaksi dengan Haji Masdar. Dan, itu berlangsung bertahun-tahun.

Namun, masalah mulai timbul ketika Haji Masdar mendirikan Perhimpunan Pribumi. Organisasi itu menyatakan diri tidak mau bertransaksi dengan Pemerintah. Dan, Desa Sugihmakmur berubah status menjadi "perkumpulan politik" dimana awalnya "perkumpulan dagang".

Akibatnya, warga Desa Sugihmakmur dicap sebagai anggota perkumpulan politik yang "berniat memberontak". Meskipun begitu, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pendekatan lunak pada warga. Pemerintah terus memantau Perhimpunan Pribumi dan anggotanya tanpa membawa mereka ke ranah hukum.

Hal itu dilakukan karena Pemerintah masih membutuhkan padi dari Desa Sugihmakmur sebagai cadangan pangan Pemerintah. Tetapi, pendekatan lunak itu malah membuat Perhimpunan Pribumi semakin berani melakukan perlawanan. Mereka enggan menjual hasil panen itu kepada Pemerintah.

Burhan _sebagai Kepala Biro Urusan Pangan_ marah karena Haji Masdar dan pengikutnya benar-benar menghambat pekerjaannya. Tentu saja berpengaruh pada cadangan pangan Pemerintah. Dan, itu membuat Burhan melakukan tindakan yang lebih keras pada warga Desa Sugihmakmur ...

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang