58

47 16 0
                                    

Dua ekor anjing yang sedang bercumbu dikagetkan oleh suara yang datang tiba-tiba. Kasihan sekali dua anjing liar itu, mereka tidak bisa menikmati malamnya yang indah. Salah mereka sendiri, kenapa bercinta di tengah jalan.

Mungkin kedua anjing itu menyangka jika jalanan akan tetap sepi sepanjang malam. Atau, mereka tidak sadar jika mereka bercinta di tempat yang salah.

Tuk tak tuk tak tuk tak!

Kaki-kaki kuda menghentak tanah yang kering dan mengeras karena  hujan sudah lama tidak menyiraminya. Andaikan mereka berlari di siang hari, kepulan debu akan terlihat beterbangan dari kejauhan.

Jalan itu begitu sepi, tidak ada orang yang berdiri atau sekedar menengok apa yang sedang terjadi. Binatang malam pun malah pergi atau masuk ke dalam sarang demi menyelematkan diri. Mereka ketakutan.

Dari puluhan kuda yang berlari, ada seorang gadis yang duduk di atas punggungnya. Gadis itu mendekap erat seseorang di depannya. Dekapan karena ketakutan bercampur keinginan untuk menghangatkan diri.

"Asih, kau kedinginan?" Panca bertanya dengan setengah menggoda.

"Tidak, aku hanya takut terjatuh."

"Tenang saja, kau harus meyakinkan dirimu jika ini yang terbaik bagi kita semua."

Asih heran dengan kalimat yang terlontar dari mulut Panca. Seakan Panca tahu apa yang dipikirkan oleh Asih.

"Aku masih mengkhawatirkan Ibu dan Bapa." Asih mengutarakan isi hatinya kepada Panca yang berkonsentrasi mengarahkan arah lari Si Sadewa.

Hentakan tubuh si kuda cukup membuat Asih terjaga walau malam sudah begitu larut. Padahal, biasanya gadis itu tertidur nyenyak di kamarnya saat lewat tengah malam. Gadis itu terbawa suasana oleh riuh rendah para penunggang kuda yang saling menyemangati satu sama lain.

"Hiah hiah!"

Tidak percuma kuda-kuda itu dipersiapkan sejak tadi siang. Waktu istirahat mereka cukup untuk menjalankan misi malam ini. Tidak terkecuali Si Nakula dan Si Sadewa, kedua kuda itu seakan tidak ingin kehilangan pamornya diantara kuda-kuda lainnya.

Dengan lentera di tangan, polisi-polisi itu saling menerangi jalan. Nampaknya mereka sudah tahu ke mana arah yang akan dituju. Tanpa aba-aba, mereka terus memacu kuda untuk menyusuri jalan desa yang semakin menyempit. Apabila dilihat dari kejauhan, iring-iringan kuda itu seperti rombongan kunang-kunang yang terbang beriringan. Lampu yang dibawa para polisi seakan melayang di atas tanah kemudian sama-sama berbelok jika mendapati persimpangan.

Di malam selarut ini, tidak banyak orang yang menyaksikan betapa riuh rendahnya kuda-kuda berlari. Sesekali terlihat petugas ronda malam yang berdiri di pinggir jalan demi menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi hingga rasa penasaran mereka sedikit terobati.

"Mau ke mana mereka?"

"Tidak tahu."

"Mungkinkah mereka menuju Desa Sugihmakmur?" seorang petugas ronda mengira-ngira ke mana rombongan polisi itu akan pergi.

"Kalau melihat arah kuda-kuda itu berlari, ya ... sepertinya begitu."

"Tapi, ada apa ya di sana?"

Orang yang ditanya mengangkat bahu sebagai pertanda jika dia tidak tahu akan jawaban yang ditanyakan temannya. Dia hanya berdiri mematung sembari terus menyaksikan rombongan polisi itu yang terus menjauh.

Ketika dua orang petugas ronda itu kembali ke pos jaga, mereka kembali dikagetkan oleh suara hentakan kaki kuda yang berlari kencang. Kali ini jumlah kuda yang berlari tidak sebanyak sebelumnya. Ada empat ekor yang tiba-tiba berlari mendekat. Kuda-kuda itu berlari semakin pelan setelah semakin dekat dengan pos jaga.

"Kita tunggu di sini," salah seorang penunggang kuda itu memberi aba-aba.

Kuda-kuda itu pun berhenti tepat di depan pos jaga. Dengkurannya terdengar keras.

"Ada apa ini, Kang?" si petugas ronda bertanya pada tamunya.

"Tidak ada apa-apa, hanya iring-iringan biasa."

"Maaf Kang, kami harus tahu nama di dan tujuan Akang. Ya, demi keamanan bersama."

"Begitukah? Kalau kami tidak mau memberitahu, bagaimana?"

"Oh, berarti kami anggap sebagai orang yang patut dicurigai."

Dari atas kuda, keempat orang itu enggan berbicara banyak dengan si petugas ronda. Mereka malah mengarahkan senapan kepada kedua petugas ronda itu.

Sontak orang yang ditodong senjata tidak bisa berkata-kata. Mereka berdua mengangkat tangan.

"Kalian tidak harus tahu banyak hal."

Sembari melecut kembali kudanya, empat penunggang kuda meninggalkan dua petugas ronda itu. Mereka meninggalkan kedua orang yang masih mengangkat kedua belah tangannya sambil memasang muka ketakutan.

Di bawah temaram lampu yang menempel di tiang pos ronda, para petugas saling tatap. Mereka masih belum paham dengan kejadian yang dilihatnya.

"Ah, aku ingat mereka!"

"Siapa mereka?"

"Orang-orang yang biasa mengawal Biro Urusan Pangan ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang