7

89 19 0
                                    

Daun pohon kelapa yang bergoyang tertiup angin menjadi saksi betapa pagi itu adalah pagi paling mencekam yang pernah dirasakan Asih. Kehidupan nyaman yang dirasakan sejak bayi, kini terasa berubah seketika.

Bukan hanya tentang manusia yang kehilangan nyawa, tetapi Asih mulai merasakan jika kehidupan indah di desanya sepertinya akan berubah. Asih merasakan jika masa depan desanya bisa berubah setelah kejadian ini.

"Bi, orang-orang marah sekali ya." Asih bicara pada seorang pembantunya yang sedari tadi menemani.

"Iya, sangat marah. Bibi baru melihat mereka semarah ini."

"Kok, saya merasakan jika masalah ini akan menjadi masalah besar bagi desa kita."

"Aduh Neng, jangan berkata begitu. Mudah-mudahan tidak terjadi hal yang lebih besar lagi."

Perasaan Asih yang terdengar berlebihan itu memang cukup beralasan. Dia melihat sekumpulan manusia dengan perkakas di tangan, jelas bukan untuk melakukan kegiatan kerja bakti.

Disertai emosi yang tidak terkendali, massa bisa melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Apalagi diantara mereka ada orang-orang yang terus menyemangati massa untuk terus berteriak. Teriakan-teriakan perlawanan.

"Ini pasti ulah Pemerintah!"

"Kita harus melakukan perlawanan!"

Asih bisa menyaksikan ternyata diantara kerumunan ada orang-orang dekat ayahnya. Mereka adalah para pengurus inti Perhimpunan Pribumi yang senantiasa ikut serta dalam berbagai pertemuan di rumahnya.

Sebagai gadis yang baru beranjak dewasa, anak remaja itu mulai mengerti jika perkumpulan yang diprakarsai ayahnya bisa mengumpulkan massa begitu banyak. Dan, massa itu seakan mempunyai "jalan pikiran" yang sama. Orang-orang yang berkumpul di halaman rumahnya saat ini adalah orang-orang yang sama ketika beberapa hari lalu terlihat berkumpul di kegiatan Perhimpunan.

Ayahku benar-benar sudah mempengaruhi cara berpikir mereka. Terlintas dalam pikirannya jika emosi massa ini tidak muncul begitu saja. Dia mulai menyadari jika ini adalah puncak dari sederetan ajak-ajakan ayahnya untuk melakukan perlawanan pada Pemerintah.

"Diam semua!"

Asih bangkit berjalan mendekati kerumunan. Para ibu yang sedari tadi berdiri di dekatnya pun kaget dengan apa yang dilakukan anak gadis itu.

"Ini bukan saatnya kalian menyalahkan Pemerintah! Tidak ada bukti yang mengarah ke sana!"

Massa terdiam. Seperti serangga yang diinjak kemudian berhenti berdengung.

"Kakakku meninggal dengan cara tidak wajar, lalu kenapa kalian malah berpikir jika ini karena ulah Pemerintah! Seharusnya kalian menguburkan mereka sebagai kewajiban kita terhadap orang meninggal!"

"Maaf, Neng. Tapi kita menunggu Juragan Haji." seorang lelaki yang paling keras memanaskan suasana angkat bicara.

"Ya, tapi bukan berarti kita berteriak-teriak seperti itu!"

"Neng Asih, kita hanya ingin pelaku pembunuhan itu dihukum setimpal."

Asih mengusap air matanya, dia menatap pria yang tubuhnya paling bersih itu. Dia bukan petani yang ikut bekerja dari pagi.

"Hei, siapa yang dibunuh?"

Semua orang mengarahkan pandangan ke arah orang yang bertanya. Dia tiba di tempat itu dengan menunggang kuda yang berjalan pelan.

"Juragan." orang-orang mundur memberi jalan.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang