Sawah-sawah menghampar di kiri dan kanan jalan. Kerbau dibiarkan merumput di pematang yang subur dengan rumput. Sebuah pemandangan menyejukan bagi Panca dan Bajra yang berkuda melintasi jalan desa.
"Orang-orang ke mana ya, Raden?" Bajra heran karena tidak ada seorang pun yang bekerja di sawah.
"Mungkin mereka di rumah Juragan Haji."
"O, mereka berhenti bekerja ketika mendengar berita ini."
"Ya, jangankan mereka yang satu desa dengan Juragan Haji, kita pun menyengajakan diri untuk melayat kan?"
"Iya, mungkin yang lain sudah dari tadi ke sana. Kita telat karena harus membereskan pekerjaan."
Kuda berjalan pelan karena terhentak oleh tali kekang yang ditarik penunggangnya. Bajra dan Panca sengaja mengurangi kecepatan kuda berlari karena di depan ada iring-iringan pedati.
Iring-iringan itu berjalan searah dengan Panca dan Bajra. Karena dilihat dari belakang, kedua anak remaja itu hanya bisa melihat pantat dua ekor kuda yang mengawalnya. Iring-iringan itu berjalan sangat pelan, tetapi Panca dan Bajra tidak berani untuk menyalip.
Dua orang yang menunggang kuda itu membawa senapan. Mereka bukan hanya orang yang sekedar lewat. Pedati itu pasti berisi sesuatu yang berharga sehingga harus dikawal.
"Siapa mereka?" Bajra penasaran.
"Tidak tahu, tapi jika melihat iring-iringan seperti itu ...."
"Pegawai Pemerintah?"
Panca mengangkat bahu, tidak bisa memberikan jawaban pasti. Dia hanya memandang ke depan demi memastikan siapa yang menghalangi jalannya itu.
"Hei! Kalian mau ke mana?" ternyata salah seorang pengawal iring-iringan itu berteriak pada Panca dan Bajra.
"Eee ... kami mau berkunjung ke rumah Juragan Haji Masdar?"
"Ada keperluan apa?" lelaki berkuda itu menghampiri.
"Eee ... putranya meninggal. Kami mau melayat."
"Meninggal?"
Orang itu memutar haluan, dia memacu kudanya hingga ke ujung depan iring-iringan. Sepertinya dia mau menyampaikan berita itu kepada seseorang.
Tidak lama kemudian, orang itu kembali berteriak sambil melambaikan tangan, "Ayo, kalian duluan!"
"Baiklah, Paman."
Kedua kuda yang ditunggangi Panca dan Bajra berjalan pelan menyusul iring-iringan pedati. Mereka melihat tumpukan karung-karung padi di setiap pedati. Ketika dihitung, ada sepuluh pedati yang berjalan beriringan.
Setiap pedati dikendalikan oleh seorang kusir dan ditarik 2 ekor sapi. Diantara mereka ada 10 orang pengawal berkuda yang memegang senapan. Mereka tidak berseragam. Berpakaian seperti kaum pribumi pada umumnya. Baju dan celana pangsi dengan ikat kepala motif batik serta tidak beralas kaki.
Ternyata, ada seorang diantara mereka yang berbaju lebih rapi. Berpakaian warna putih dari atas kepala hingga kaki, Panca dan Bajra mengira jika dia adalah pimpinan rombongan.
Ketika jaraknya begitu dekat dengan orang berbaju putih itu, terdengar percakapan yang membuat Panca dan Bajra terheran-heran.
"Aku hanya menyuruhmu untuk memberitahu dia jika kita akan datang. Agar mereka menyiapkan barang yang kita butuhkan."
"Maaf, Tuan. Saya terdorong amarah karena dia bersikeras tidak akan menjual padi miliknya."
"Tolol! Jika begini, kita akan menjadi satu-satunya yang tertuduh kalau pembunuhnya adalah kita."
Si pemimpin rombongan berhenti bicara ketika melihat Panca dan Bajra lewat di depan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...