54

44 19 0
                                    

Burhan memang pintar membuat suasana menjadi semakin tegang. Dengan sengaja, dia memisahkan warga menjadi dua kelompok. Satu kelompok yang menginginkan Haji Masdar mati malam itu juga. Sebaliknya, kelompok lainnya menginginkan Haji Masdar tetap hidup dan memimpin warga sebagaimana sebelumnya.

Dua kelompok warga itu duduk saling berhadapan. Burhan berdiri di tengah-tengah mereka.

"Kalian bisa menyaksikan sendiri, siapa sebenarnya saudara dan siapa sebenarnya musuh kalian."

Kalimat yang terucap dari mulut Burhan itu sungguh provokatif. Dia ingin menegaskan jika malam itu sudah terjadi pecah kongsi. 

"Kalian tidak menyangka kan, jika orang yang sehari-hari bekerja bersama ternyata diam-diam memiliki niat untuk berkhianat." Burhan menatap sebagian kecil warga yang menginginkan Haji Masdar mati.

Kelompok ini lebih sedikit dibandingkan orang yang menginginkan Haji Masdar tetap hidup. Mereka saling tatap dengan tatapan menantang. Mungkin sekali mulai tumbuh kebencian diantara mereka. Kalau saja mereka diberi senjata maka bisa jadi diantara mereka saling bunuh. Tapi, Burhan tidak mengijinkan mereka memegang senjata.

"Karena jumlah yang menginginkan Tuan Haji tetap hidup lebih banyak, maka aku putuskan untuk tetap membiarkan orang tua ini hidup."

Warga menghela nafas panjang. Beberapa orang mengelus dada dan mengucapkan syukur.

"Tapi, bagaimana dengan nasib kalian?" Burhan mengarahkan pandangan pada kelompok yang sedikit.

Mereka saling pandang satu sama lain. Nampaknya mereka khawatir dengan nasib masa depannya sendiri.

"Kalian akan hidup di mana? Apakah kalian tidak malu masih hidup menumpang di tanah juragan kalian?"

Ketika diberi pertanyaan seperti itu wajah mereka semakin pucat. Mata mereka melirik ke arah Haji Masdar yang masih duduk terikat di beranda. Pria tua itu tidak merespon tatapan mereka. Dia hanya menampakan wajah datar.

"Usir saja mereka!" tiba-tiba seorang pendukung Haji Masdar berteriak kencang.

"Ya, usir mereka!"

"Dasar pengkhianat!"

Sungguh keadaan yang memilukan. Orang-orang yang telah sedia bekerja bertahun-tahun demi menghidupkan tanah Desa Sugihmakmur, kini ada dalam situasi yang serba salah.

"Coba pikirkan, jika kalian masih ada di sini maka warga yang lain jelas tidak menginginkan kalian ada di sini."

"Kalian harus pergi dari sini!"

"Tenang, tahan emosi kalian. Apakah tidak ada pintu maaf bagi mereka?"

"Tidak, orang seperti itu tidak bisa dimaafkan!"

Burhan kemudian mengarahkan pandangan pada Haji Masdar, "Bagaimana menurutmu?"

Haji Masdar hanya tersenyum sinis. Orang tua itu tidak mau memberikan komentar apa pun. Nampaknya dia tahu jika Burhan sedang menggelar drama demi memecah belah warga Desa Sugihmakmur. Sungguh siasat yang licik.

"Kalian sendiri akan pergi ke mana setelah ini?" Burhan bertanya pada kelompok kecil warga yang menginginkan Haji Masdar dibunuh.

Ditanya seperti itu, orang-orang itu tidak sanggup menjawab. Mereka benar-benar dalam keadaan terdesak. Antara malu dan tidak tahu harus berbuat apa, perasaan itu campur aduk dalam pikiran mereka.

"Kalian bingung ya? Ingat, jika kalian terang-terangan menginginkan Haji Masdar mati maka bisa jadi dia pun menginginkan kalian mati ...."

Orang-orang itu menampakan wajah ketakutan. Beberapa orang berusaha mengangkat tubuh, hendak kabur. Tapi, niatnya urung dilakukan ketika senapan diarahkan ke kepala mereka.

Suasana hening sejenak.

"Ahhh!"

Tak dinyana, seorang pria memberanikan diri untuk beranjak kemudian melompat ke arah api unggun.

Wusshh  wussshh!

Pria itu mengambil kayu yang masih terbakar, kemudian mengarahkan pukulan pada Haji Masdar yang masih duduk di beranda.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang