45

49 17 0
                                    

Bangunan ini lebih megah dari bangunan-bangunan yang dilihat oleh Asih sebelumnya. Sebuah bangunan 3 lantai dengan ukuran besar. Tampak dari kejauhan jendela berukuran besar berjejer dari kedua sisi bangunan berwarna putih itu. Beberapa ruangan sudah terlihat menyalakan lampu, tandanya masih ada orang yang bekerja ketika malam sudah tiba.

Karena hari mulai gelap, Asih belum bisa melihat atap bangunan tersebut. Samar-samar terlihat bendera berkibar diterpa angin. Hanya bayangannya saja yang bisa menjadi penegas jika itu sebuah lambang kebesaran negeri ini.

"Panca, dimana-mana ada serdadu. Apakah kita akan diizinkan bertemu dengan dia?" Asih sedikit risau ketika pertama kali turun dari kuda.

"Kita hampiri saja mereka, kalian serahkan padaku. Biar aku yang bicara."

Panca, Asih, Bajra dan Pratiwi berjalan beriringan setelah mereka membiarkan Nakula dan Sadewa merumput. Mereka merapihkan pakaian, berharap bisa diterima sebagai tamu di tempat itu.

"Hei, kalian siapa?" seorang serdadu penjaga bertanya dengan nada tinggi.

"Selamat petang, Tuan. Perkenalkan saya Panca. Bermaksud bertemu dengan Tuan Gubernur Jenderal."

"Apa? Kalian pikir kalian siapa? Anak raja?"

Panca mengerti maksud pertanyaan serdadu itu. Tapi, anak remaja itu tetap berlaku sopan agar orang di depannya tidak tersinggung.

"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud ...."

"Sudahlah, kalian pergi saja."

Serdadu itu melengos, dia tidak mempedulikan kata-kata Panca. Tetapi, Panca mencoba membujuk si serdadu bertopi agar mau mendengar ucapannya.

"Begini, Tuan ...."

Panca belum menyelesaikan kalimatnya. Tak diduga, Asih berjalan menghadang serdadu itu.

"Hei, jangan menyentuhku!" Asih dibentak sembari ditodongkan senjata ke wajahnya.

"Saya mohon, Tuan. Pertemukan kami dengan Tuan Gubernur Jenderal."

"Hei anak tengil! Kau pikir Tuan Gubernur Jenderal mau menemuimu. Urusan dia sangat banyak. Dia tidak bisa bertemu dengan sembarang orang."

Asih mulai menangis, dia bersimpuh di hadapan serdadu itu. Berharap permohonannya dikabulkan.

Serdadu tadi jengkel dengan sikap Asih. Dia menodongkan senjata ke pelipis gadis itu, "Hentikan tangisanmu!"

Asih berusaha berhenti menangis. Dia bangkit berdiri sambil menyeka air mata di pipinya. "Tuan, saya mohon. Ini masalah sangat penting."

"Kau pikir masalahmu saja yang penting?"

Serdadu itu nampaknya sudah dilatih untuk membentak orang yang dianggap tidak memiliki kepentingan. Dia tidak ingin tuannya merasa terganggu oleh hal remeh-temeh seperti saat ini.

Asih menatap Panca, dia berharap Panca membantunya.

"Tuan, kami paham jika Tuan Gubernur Jenderal tidak sudi menerima orang-orang seperti kami."

"Tentu saja, kalian hanya mengganggu ...."

"Tapi ini tentang Perhimpunan Pribumi."

Serdadu itu menatap Panca.

"Kalian ...."

"Nona ini putri dari Haji Masdar, pimpinan Perhimpunan Pribumi."

"Lalu?"

"Kami bermaksud melaporkan Haji Masdar ...."

"Kami sudah menangani masalah itu. Kalian tidak usah ikut campur."

Panca belum sampai pada kalimat terakhirnya, perhatiannya teralihkan pada Asih yang berlari ke depan gerbang. Sontak, semua penjaga berhamburan demi menghadang gadis itu.

"Hei, berhenti!"

Asih tidak mau mendengar perintah para penjaga di sana.

Dorr !

Suara tembakan akhirnya harus terdengar di depan Kantor Gubernur Jenderal malam itu.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang