61

40 18 0
                                    

Panca masih sulit memahami situasi yang sedang dia hadapi. Dia menyaksikan Haji Masdar yang terikat tangan dan kakinya masih nampak khusu' menjalankan sholat. Dua petinggi pemerintah saling gertak demi menjalankan hal yang sebenarnya Panca sendiri tidak tahu. Ditambah, para polisi yang sedari tadi berkuda bersamanya kini mengangkat senapan dan diarahkannya kepada orang-orang berpakaian serba hitam. Orang-orang itu berdiri melingkar bermaksud melindungi satu-satunya pria berbaju putih.

"Cari tempat berlindung, cepat!" seorang polisi bertopi memerintahkan Panca dan kawannya untuk berlindung.

"Iya, Tuan." Panca mengangguk sambil berbisik.

Pratiwi dan Bajra mengikuti Panca. Tapi, Asih malah menangis sambil tetap berdiri.

"Asih, ayo ... kita cari tempat berlindung. Di sini berbahaya."

"Tidak, aku ingin menemani Bapa."

"Hei, percayakan ini semua pada mereka."

"Tapi aku tidak mau meninggalkan Bapa ...."

"Aku mengerti. Percayalah mereka punya cara untuk menyelamatkan Juragan Haji."

Usaha Panca, Bajra dan Pratiwi untuk membujuk Asih ternyata tidak berhasil. Tak dinyana, gadis itu malah berlari ke arah beranda rumah. Dia menangis, air mata pun berurai di pipinya.

"Tuan ... saya mohon ... bebaskan Bapa ...."

"O tidak, Nona. Tidak ada yang gratis di dunia ini."

"Saya tahu, Tuan." Asih membungkukkan badan sebagai pertanda permohonan.

Para polisi yang sudah siap menembak, kini harus menambah kesabarannya karena komandan mereka mengangkat tangan. Semua tahu jika situasi ini menyulitkan mereka untuk bertindak. Sebuah situasi yang serba salah, jika mereka memaksakan menembak maka tawanan bisa menjadi korban.

"Tuan Burhan, kabulkan saja permintaan Nona Asih. Kita anggap semua ini tidak pernah terjadi." Sang Komandan mencoba bernegosiasi.

"Tidak, aku tidak bisa melepaskan orang tua ini begitu saja." Burhan masih mengarahkan pistol ke arah kepala Haji Masdar.

Orang yang ditawan masih khusu' dengan sholatnya. Matanya terpejam, tidak terganggu oleh teriakan-teriakan di sekitarnya.

"Saya tahu, ini bukan hal mudah bagi Anda. Tapi, saya akan membuat semua ini menjadi mudah."

"Maksudnya?" Burhan bertanya pada Sang Komandan.

"Kau lepaskan Tuan Haji, maka kau boleh pulang ke Batavia."

Burhan menganggukkan kepala, dia menimbang-nimbang keadaan.

"Tidak, aku ingin pulang ke Batavia bersama orang ini."

"Kenapa harus repot-repot membawa Tuan Haji. Kau dan anak buahmu bisa pulang tanpa beban. Kita impas."

"Ya, tapi aku curiga ... kalian akan membuntutiku ... kemudian membunuhku."

Sang Komandan tersenyum. Pria Eropa itu merasa malu juga ketika Burhan bisa mengetahui isi pikirannya.

"Coba pikirkan, kesalahan Anda ini sangat fatal. Begitu banyak korban di sini. Tapi, semua ini bisa kita lupakan ...."

"Dengan melepaskan orang tua ini?"

Sang Komandan menganggukkan kepala.

Burhan mengarahkan pandangan pada Haji Masdar. Orang tua itu nampaknya menyelesaikan sholatnya. Dia mengucapkan salam dengan suara pelan.

"Itu yang kau inginkan, Juragan Haji?" Burhan bertanya untuk sekedar berbasa-basi.

"Tidak ... aku tidak ingin ditolong oleh penjajah ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang