67

50 19 0
                                    

Panca, Bajra dan Pratiwi masih berdiri di pekarangan rumah Haji Masdar. Bau daging hangus masih tercium dari bekas api unggun yang mulai meredup. Apinya kecil dan hanya menyisakan bara dari kayu-kayu sebelumnya utuh. Asap mengepul dari nyala bara itu mencari ruang yang lebih luas.

Mereka menyaksikan dengan seksama, bagaimana Asih dan keluarganya menangis tersedu-sedu. Satu per satu kakak-kakak Asih _yang masih hidup_ mulai berdatangan. Turut serta bersama mereka cucu-cucu Haji Masdar yang masih kecil. Tentu saja mereka belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

Panca melihat ada yang hal masih sulit dimengerti dengan orang-orang di hadapannya; terutama Haji Masdar. Ketika anak dan istrinya menangis tersedu meratapi kejadian ini, Haji Masdar masih menampakan wajah yang datar. Tatapan mata orang tua itu terlihat kosong. Dia masih saja memandang lurus ke depan padahal di sekelilingnya berdatangan orang-orang terdekatnya.

Tapi, Panca enggan terlalu dalam memperhatikan bagaimana tingkah orang tua itu. Dia berharap suatu saat nanti Asih bisa menjelaskannya.

"Panca, lihat ini," Bajra menyentuh pundak temannya sembari memperlihatkan sesuatu.

"Apa itu?" Pratiwi ikut penasaran.

"Ini surat yang tadi dibawa oleh polisi untuk Tuan Burhan."

Bajra memegang selembar kertas berwarna putih kekuningan. Sudut kertas itu sudah terbakar. Tapi, kalimat yang tertulis di dalamnya masih bisa terbaca.

"Apa isinya?"

"Tunggu, agak kurang terang ... kita baca dekat api."

"Wah, bahasa Belanda. Kau mengerti, Bajra?"

"Ya, aku mengerti maksudnya," Bajra menganggukkan kepala.

"Apa?"

Bajra menghirup nafas panjang. Panca dan Pratiwi saling lirik, melihat ada yang tidak beres dengan isi surat itu.

"Ternyata, Gubernur Jenderal ... tidak akan menghukum Tuan Burhan atas apa yang telah dia perbuat di sini."

"Alasannya?"

"Kalau dari bahasa yang tersirat, dia diampuni atas kesalahannya asalkan mau berhenti berulah."

"Kan, yang terpenting ... tidak ada lagi korban yang berjatuhan ... dan dia mau menghentikan semua ambisinya."

"Ya itu memang benar. Tapi, aku merasa ... jika para polisi itu datang bersama kita bukan untuk menghentikan Tuan Burhan."

"Lho, itu kan tujuan mereka ramai-ramai datang ke sini? Karena, kita melapor kepada Gubernur Jenderal."

"Bukan, di surat ini ... Gubernur Jenderal malah berterima kasih karena telah menjalankan tugasnya dengan baik."

"Tunggu, maksudmu ... Tuan Burhan memang sengaja diutus ke sini untuk membuat kekacauan ...?"

"Ya, dan ... para polisi datang ke sini ... hanya memastikan jika semuanya berjalan sesuai rencana."

"Rencana? Maksudmu, semua kekacauan ini sudah direncanakan?"

"Berdasarkan surat yang tertulis ... sepertinya begitu."

"Kalau begitu, jika kita berempat tidak datang ke Batavia ...."

"Para polisi itu tetap akan datang ke sini."

"Pantas saja mereka sudah melakukan persiapan di barak."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang