22

47 20 0
                                    

Burhan geram dengan sikap Haji Masdar. Pria tua itu masih saja bersikukuh dengan pendiriannya. Haji Masdar tetap enggan menjual padi miliknya pada Biro Urusan Pangan. Padahal, sudah sepuluh orang warga ditembak hingga mati sebagai bentuk gertakan.

Kali ini, Burhan menodongkan senapan pada istri Haji Masdar. Berharap tokoh Desa Sugihmakmur itu mau mengubah pendiriannya.

"Bapa, ikuti saja keinginan Tuan Burhan," istri Haji Masdar memohon sambil menangis.

"Tidak, Bu. Kita harus tetap pada perjuangan kita."

"Oh, begitu." Burhan mengarahkan senapan pada mata istrinya Haji Masdar.

"Bapa! Apa yang ada dalam pikiran Bapa. Ibu ini istri Bapa, sedangkan apa yang Bapa perjuangkan ...," wanita itu memelas.

"Itu perjuangan demi banyak orang. Bukan hanya demi keluarga kita, dalam sebuah perjuangan pengorbanan itu perlu."

"Berarti nyawa orang bagi Bapa tidaklah berharga? Nyawa Majid tidak berharga? Nyawa warga yang telah membela Bapa juga tidak berharga?"

"Justru berharga. Bukankah para pejuang itu merindukan kematian?"

Burhan mulai mengerti jalan pikiran Haji Masdar. Ternyata orang tua itu tidak mengubah pendiriannya walaupun keluarganya dalam bahaya. Burhan memahami jika itulah daya tarik sosok Haji Masdar sehingga bisa memikat banyak orang untuk menjadi pengikut.

"Juragan Haji, ingat Anda bukan wali." Burhan menarik senapan dari kepala istri Haji Masdar.

"Apa maksudmu?" Haji Masdar bertanya dengan ketus.

"Jika seorang wali mati karena memperjuangkan keyakinannya, dia dijamin masuk surga."

"Haha, tahu apa kau tentang 'surga'?"

"Kau bisa saja mengajak banyak orang untuk mati konyol melawan Pemerintah."

"Tidak, mereka mati syahid."

"Siapa yang menjamin orang-orang yang bergelimpangan di pekarangan itu adalah syuhada. Apakah mereka mati syahid? Apakah mereka akan masuk surga?"

"Tentu saja, mereka telah melawan kebatilan."

"Cuuhh! Kebatilan? Kau anggap kami berbuat kebatilan. Kami Pemerintah hanya ingin berbuat baik untuk rakyat Hindia Belanda."

"Kalian menjajah!"

"Hanya kau yang berpikiran begitu! Tengoklah ke desa lain. Kepala desa dan para bangsawan di sana mau bekerjasama dengan kami. Mereka mau sama-sama memimpin rakyat."

"Karena mereka kacung penjajah!"

"Dengar, mereka tidak egois. Hanya berpikir tentang dirinya sendiri yang berkhayal akan masuk surga."

"Aku tidak berkhayal. Itu keyakinanku."

"Aku Islam, meskipun Islamku tidak taat seperti kalian. Jadi, sedikitnya aku tahu jika masuk surga itu ... tidak hanya masuk begitu saja. Apalagi mati melawan saudara sendiri ...."

"Kalian bukan saudara kami!"

"Oh ... jika kau menganggap orang Pemerintah dan pendukung Pemerintah bukan saudara ... lalu kenapa kau mendekati setiap kepala desa untuk sama-sama mengikuti Perhimpunan yang kau dirikan?"

"Itu dakwah."

"Bukan, kau sedang bersandiwara. Di sini kau katakan mereka 'kacung penjajah' ... bukan saudara ... tapi di depan mereka kau berpura-pura baik."

Haji Masdar berdiri mematung.

"Juragan ... lantas, apa niatmu mendirikan Perhimpunan Pribumi?"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang