20

48 19 0
                                    

"Hei, berhenti di situ!" seorang lelaki berkuda itu berteriak.

Tetapi Asih tidak menggubris kata-kata orang itu. Gadis itu malah terus berlari hingga dia bertemu dengan sebuah selokan yang berfungsi sebagai irigasi sekaligus batas antara areal kebun dan sawah.

Asih melompat.

Namun sayang, gadis itu bukan pelompat yang baik. Dia terjatuh dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Byuurrr. Tubuhnya basah.

Tapi bukan itu yang dikhawatirkan Asih. Tubuhnya yang basah kuyup tidak jadi masalah tapi para pria berkuda itu yang menjadi masalah. Mereka semakin mendekat.

Asih bergegas lari ke pematang sawah. Sekali lagi, dia terjatuh. Tanah yang berlumpur dan berumput basah membuat pijakan kakinya menjadi licin. Byurrr. Asih terjatuh lagi ke petakan sawah yang baru saja dicangkul.

Asih bangkit dan berdiri.

Pandangannya menjadi buram karena lumpur menghalangi kelopak mata gadis itu. Dia menengok ke belakang. Pria-pria berkuda itu terlihat siap menembak.

"Berhenti! Atau, kami tembak!"

Mereka begitu bernafsu ingin membunuh Asih. Jarak tembak tidak terlalu jauh, hanya butuh sekali tarikan pelatuk maka peluru bisa menembus tubuh mungil Asih.

"Hei, jangan kau tembak. Rencananya tidak begitu."

"Ah, yang penting ...."

"Hei, Tuan Burhan bisa marah."

Lima laki-laki itu berhenti berdiskusi. Mereka turun dari kuda dan berlari mengejar Asih.  Semuanya berlari di atas pematang sawah yang memanjang.

Tentu saja Asih tidak diam. Dia pun kembali berlari.

Tapi, laki-laki itu juga terbiasa berlari di atas pematang. Tidak butuh waktu lama untuk mengepung seorang gadis seperti Asih.

Asih terdiam.

Apakah Asih harus menyerah?

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang