"Hahaha, bocah tengik ... kau tidak bisa pergi ke mana-mana ...."
"Menyerahlah ...."
Lima orang laki-laki berjanggut dan berjambang tebal itu mengepung Asih. Gadis itu hanya berdiri terpaku di permukaan lumpur sawah yang baru saja digarap. Asih tidak sanggup lagi untuk berlari.
Mata gadis itu menatap orang-orang yang ada di hadapannya. Mereka begitu bernafsu ingin menangkap buruannya.
"Kalian bisa saja membunuh kakakku, tapi tidak denganku."
"Oooo, kami tidak akan membunuhmu. Nyawamu terlalu berharga. Sayang jika disia-siakan."
Asih menghirup nafas dalam-dalam. Berharap udara bersih masuk ke tubuhnya kemudian menyerap hingga ke otaknya. Asih membutuhkan asupan udara bersih agar otaknya bisa diajak untuk berpikir. Dia menimbang-nimbang berbagai kemungkinan. Tertangkap atau kembali berlari ... menjauh dari jangkauan manusia-manusia ganas itu.
Sinyal-sinyal di otak Asih mulai berdenyut. Sel-sel otaknya saling sahut satu sama lain. Gadis itu bisa berpikir jernih meskipun dalam keadaan terjepit. Sikap yang bisa ditemui dalam diri ayahnya, Haji Masdar. Dia tidak mudah ditekan secara mental dan masih menggunakan otaknya untuk mengambil keputusan.
Asih memejamkan matanya. Membayangkan satu hingga dua cara untuk bertindak. Namun, ketika dia memejamkan mata, ada suara orang yang berteriak.
"Hei! Menjauh dari Neng Asih!"
Ternyata tidak jauh dari sana, beberapa orang warga sudah menghampiri petakan sawah tempat kawanan penindas itu berdiri. Mereka menghunus golok, parang bahkan cangkul.
"Hei, menjauh dari sini!"
"Tidak, kami tidak akan pergi sebelum kalian membebaskan Neng Asih!"
Warga yang sudah tersulut amarah bersikukuh tidak mau pergi. Mereka malah mendekat ke arah kerumunan. Di pematang sawah, mereka siap menyabetkan perkakas yang dipegang. Rasa takut pria-pria bertelanjang dada itu bisa terkalahkan oleh keinginan untuk menolong Asih.
Di tengah situasi seperti itu, terlintas dalam pikiran Asih untuk melakukan sesuatu. Dia merasakan sesuatu yang berbeda di kakinya. Lumpur basah.
Asih memperhatikan pria-pria bersenjata itu satu per satu. Konsentrasi mereka terpecah karena harus meladeni warga yang hendak menolong Asih. Bola mata mereka tidak fokus pada gadis itu. Dan, itu sebuah kesempatan baik ...
"Ahhh!" Asih berteriak.
Kakinya mengangkat lumpur basah hingga memuncrat ke pria berjenggot di depannya. Kemudian dia membungkuk, tangannya meraih segenggam lumpur kemudian dilemparkan tepat ke arah mata orang itu.
"Bangsat!"
Kata-kata kotor terucap, wajah orang itu penuh lumpur. Matanya kelilipan. Dia tidak sanggup melihat apapun di hadapannya.
"Arrgghh!" Asih berteriak sambil mengarahkan kakinya ke ulu hati orang di hadapannya.
Orang itu terjungkal.
Byurrrrr. Dia tercebur ke dalam lumpur.
Asih memanfaatkan kesempatan itu dengan secepat yang dia sanggup. Gadis itu pun berlari dengan kencang meninggalkan komplotan penjahat itu.
"Kejar dia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Misteri / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...