52

48 16 0
                                    

Empat ekor kuda menarik kereta melewati pintu gerbang. Serdadu yang berjaga memberi hormat kepada penumpang kereta itu. Orang yang diberi hormat membalasnya dengan anggukan. Tanpa senyuman, hanya wajah berwibawa terlihat di bawah cahaya lampu yang terpasang di depan pos jaga.

Kusir sudah tahu ke mana arah kereta harus melaju. Dia menarik tali kekang yang panjang dengan tangan kanannya. Itu pertanda jika keempat ekor kuda itu harus berbelok ke kanan pintu gerbang. Kereta kuda itu melaju menyusuri jalan diantara remang cahaya lampu jalan dan pepohonan yang tumbuh subur di kedua sisinya.

Di dalam kereta itu ada dua orang pria sebagai penumpangnya. Seorang pria bertubuh tegap dengan sedikit lemak tertanam di perutnya. Pipinya yang bulat terlihat berwibawa ketika dihiasi oleh kumis runcing berwarna pirang keemasan.

Satu orang lagi, duduk berhadapan dengan pria lainnya. Dia bertubuh pendek dan kurus untuk ukuran orang Eropa. Hanya warna kulitnya yang terang saja sebagai pertanda jika dia keturunan Eropa.

"Tuan, saya pikir kita harus segera bertindak."

"Malam ini juga?"

"Kenapa tidak, Tuan."

Gubernur Jenderal masih berdiskusi dengan Staf Khusus di dalam kereta kuda yang ditumpanginya. Mereka berdua masih membicarakan hal yang sama sejak beberapa saat lalu.

"Menurut informasi yang kami terima, situasi di sana tidak sedang baik-baik saja."

"Informasi yang kuterima juga mengatakan jika para polisi sudah menyiapkan pasukan untuk segera bertindak." Gubernur Jenderal menatap ke luar jendela, "cuaca nampaknya bersahabat."

"Iya, perjalanan bisa memakan waktu beberapa jam."

"Mungkin pasukan sampai di sana sebelum subuh."

"Waktu yang tepat untuk bertindak."

"Bisakah kita menundanya?"

"Menurut saya, situasi akan semakin rumit. Perhimpunan Pribumi sedang membangun kekuatan. Mereka sudah menyiapkan gerakan serentak. Intelejen kita menemukan ini." Si Staf Khusus menunjukan selembar kertas. Sebuah selebaran yang berisi tulisan tentang Perhimpunan.

"Ini hanya selebaran tentang prinsip pergerakan mereka. Tidak ada yang istimewa."

"Bukan hanya itu, Tuan. Kami berhasil memecahkan sandinya."

"Sandi?"

"Ya, selebaran ini berisi ajakan untuk bergerak serentak di waktu dan tempat yang telah ditentukan."

"Bukankah itu berarti mereka memberitahu kita?"

"Mungkin mereka tidak mengira jika kita bisa memahami makna isinya. Awalnya kami pun begitu, tetapi selebaran ini terkirim secara serentak. Di banyak tempat hingga ke luar Desa Sugihmakmur."

"Apa yang mereka inginkan?"

"Kemungkinan besar mereka tidak melayani Biro Urusan Pangan untuk bertransaksi. Saya khawatir jika mereka melakukan perampokan pada iring-iringan Biro Urusan Pangan. Mereka bisa mencegah padi masuk ke Batavia."

"Oh, mereka menyatakan perang ...."

Gubernur Jenderal  mengeluarkan kepalanya melalui jendela. Dia mencari cahaya karena di dalam kereta begitu gelap. Tangan kirinya memegang selebaran yang diberikan Staf Khusus untuk dibaca di bawah remang cahaya lampu jalan.

"Ah, ... Ini hanya puisi ...."

"Ya, tertulis seperti puisi."

"Ah ... e ... e ... di sini tertulis ... Ular meliuk menyusuri sawah ... cegah dia sampai di sarang tikus .... Selebihnya tentang sawah, padi, ...."

"Ajakan untuk mensyukuri panen raya kali ini. Selebaran ini sampai hingga ke petani yang sedang bekerja di sawah."

"Mereka bisa membaca?"

"Tentu, Tuan. Mereka diajari membaca. Juga memahami kata sandi."

Sang Gubernur Jenderal terdiam. Dia berpikir seakan menimbang-nimbang keadaan.

"Hei pergi!"

Gubernur Jenderal tersentak oleh teriakan seorang pengawal yang berkuda di depan kereta itu.

"Ada apa ini?" Staf Khusus berteriak ketika sadar jika kereta berhenti tiba-tiba. Roda kereta yang berderit terdengar lebih kencang.

"Ada yang berdiri di tengah jalan, Tuan."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang