63

42 19 0
                                    

"Asih, tenangkan dirimu. Ingat, kita melakukan ini semua untuk menyelamatkan keluargamu." Panca mencoba menenangkan gadis bertubuh mungil itu.

"Hei, jika kau pergi maka semua yang kita lakukan akan sia-sia," Bajra mencoba meyakinkan.

"Ingat perjanjian kita dengan Gubernur Jenderal. Kau tahu, jika Juragan Haji dibiarkan sendiri maka dia bisa dianggap pemberontak."

"Polisi-polisi ini akan menggiringnya ke Batavia sebagai tahanan politik."

"Dan Juragan Haji tidak akan mendapatkan kebebasannya."

Dengan berdiri mematung, Asih menyeka air matanya. Matanya terpejam untuk meredam emosi yang sulit terkendali.

Dalam pikiran gadis itu, terbayang bagaimana usahanya untuk menyelematkan diri dari kejaran anak buah Burhan. Asih mengingat kembali bagaimana dia memohon pertolongan pada Panca, Bajra dan Pratiwi. Kemarin siang, mereka berkuda dengan kecepatan penuh menuju Batavia. Kemudian, menemui pemimpin tertinggi di Hindia Belanda demi memohon pengampunan dan bersedia menolong keluarganya.

Mata asih kembali terbuka, dia melihat wajah teman-temannya.

Diterangi remang-remang cahaya dari api unggun, Asih melihat wajah Pratiwi. Mereka saling tatap. Dalam hati, Asih teringat betapa orang di hadapannya mengorbankan banyak hal demi menolong orang yang baru dikenalnya. Pratiwi, seorang gadis tangguh yang sanggup menghadapi bahaya dan penguat hatinya. Aku merasa malu jika melihat Pratiwi, dia sama sepertiku, gadis desa yang tumbuh ditengah kekangan adat. Tapi, Pratiwi bisa membuktikan jika seorang gadis desa bisa melakukan banyak hal.

"Asih, mari kita selesaikan apa yang telah kita rencanakan ...," Bajra meyakinkan Asih.

Kemudian, gadis itu membalikan badan. Tangannya dikepal dengan keras. Meyakinkan diri untuk menghadapi situasi yang berat baginya.

Di hadapannya, Sang Komandan masih berusaha bernegosiasi dengan Burhan. Begitupula Haji Masdar yang masih terikat dengan senapan mengarah ke kepalanya.

"Tuan Burhan, saya memastikan anda akan pulang dengan selamat. Asalkan bisa memenuhi isi dari surat yang kami bawa."

"Tidak, aku merasa ... aku tidak ingin pulang lagi ke Batavia."

"Oh, jadi kau ... bermaksud merampas harta milik Tuan Haji?"

"Tidak, ini harta milikku juga! Aku hanya meminta hakku!"

Semua orang tersenyum sinis, kecuali anak buah Burhan yang masih memasang wajah datar. Mereka masih memegang senapan sambil mengamati keadaan.

"Baiklah, mungkin ini saatnya aku menyebutkan maksudku datang ke sini ...."

"Kami sudah tahu, kau akan mengatakan apalagi? Sudahlah, kau tidak usah mengulur waktu."

"Sebelum kalian bertindak, ada hal yang harus kusampaikan pada kalian semua ... jika tanah yang luas ini bukan milik Juragan Haji Masdar seluruhnya. Aku punya bagian."

Semua orang terdiam.

"Apa maksudmu Burhan?" Haji Masdar buka suara.

"Juragan, kau ingat ketika 30 tahun lalu kau membuka lahan di tempat ini?"

"Ya, waktu itu daerah ini masih hutan belantara."

"Kau tidak bekerja sendiri kan?"

"Kemana arah pembicaraanmu?"

"Kau ... membuka lahan bersama seseorang bernama Maskur. Kau ingat nama itu?"

Haji Masdar kaget, darimana dia tahu nama itu?

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang