36

45 19 2
                                    

"Masdar, turuti saja permintaanku!"

Burhan sudah tidak sanggup lagi menata kata yang terdengar elegan. Dia berteriak di dekat telinga Haji Masdar. Kepala orang yang diteriaki bergerak menjauhi suara bising yang masuk ke lubang telinganya.

Haji Masdar tetap bergeming.

"Burhan, aku tahu kau mulai merasakan ketakutan ... takut dicopot jabatanmu karena tidak sanggup menyelesaikan pekerjaanmu."

"Hahaha ...," Burhan hanya tertawa.

"Apa yang kau bangun dalam waktu yang lama, akan runtuh seketika dalam waktu yang tidak akan lama lagi."

Burhan menarik nafas panjang. Tangan kanannya memegang sebatang rokok yang baru saja dinyalakan. Berusaha kembali menenangkan pikiran, tapi sayang tidak berhasil.

"Gubernur Jenderal yang baru nampaknya tidak akan mempertahankan kau sebagai Kepala Biro Urusan Pangan."

"Ah! Kau tahu apa tentang masalah itu!"

"Heh, apa yang tidak aku tahu. Jaringanku dimana-mana, bahkan hingga dalam pemerintahan."

"Ha, kau mengada-ada."

"Ooo ... Burhan, kau tahu kami ini bersaudara. Kau berpikir jika kami menutup mata pada apa yang terjadi."

Burhan menatap wajah Haji Masdar. Dia seakan bertanya-tanya akan kebenaran omongan Haji Masdar.

"Kami, selalu yakin ... dan terus memupuk keyakinan itu ... jika penjajah akan angkat kaki dari tanah Jawa."

"Hahaha ... silakan saja kau bermimpi sesuka hati."

"Burhan ... Kau tahu kenapa orang-orang Eropa itu bersikap melunak pada orang pribumi?"

"Ya, itu demi alasan kemudahan saja ...."

"Burhan, mereka takut ... Takut karena jumlah mereka sangat sedikit."

"Ya, tapi mereka unggul ...."

"Itu dulu. Kini?"

Burhan tertunduk, tidak sanggup menjawab.

"Orang Eropa nampaknya sadar jika abad telah berganti. Dan, ilmu pengetahuan semakin mudah didapatkan. Kemajuan informasi telah mengubah pikiran banyak orang."

"Haha ... orang pribumi tidak akan bisa mengejar keunggulan orang Eropa dalam sekejap mata."

"Kau sadar Burhan, ketika Hindia Belanda memperbolehkan orang untuk membaca koran ... sama dengan memperbolehkan orang pribumi untuk mengubah cara berpikirnya ...."

"Tapi tidak akan mengubah nasibnya ...."

"Itu harapanmu agar tetap dapat bekerja di bawah ketiak orang-orang Eropa itu. Bagi kami, informasi dari seberang sana menjadi inspirasi untuk melakukan hal yang sama."

"Ha, aku tidak yakin dengan ucapanmu."

"Burhan, aku pernah menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang Arab bisa berdikari dan berjuang melawan penjajah. Dan ... kami saling berkomunikasi satu sama lain."

Burhan menatap Haji Masdar.

"Kami memiliki persamaan prinsip bahwa rakyat di suatu negeri harus mengurus urusannya sendiri."

"Ah!" Burhan berteriak demi menghentikan semua kalimat yang keluar dari mulut Haji Masdar, "Sekarang ... aku ingin menghentikan mimpimu itu, Juragan."

Burhan menodongkan pistol ke kening salah satu cucunya. Logam yang dingin terasa menakutkan bagi anak kecil itu.

"Kakek ...."

Haji Masdar tidak bergeming.

"Juragan, lebih baik ikuti saja keinginan Tuan Burhan," seorang warga memberanikan bicara.

Haji Masdar tetap bergeming.

"Juragan, kami mohon. Demi keselamatan cucu-cucu Juragan sendiri."

Permintaan orang itu tidak dipenuhi oleh Haji Masdar. Laki-laki tua tersebut malah memejamkan mata seakan siap menyambut kematian cucunya.

"Baiklah ... kau sudah menentukan pilihan Masdar ...," Burhan mempertegas maksudnya.

Dor!

"Ahhh!"

Semua orang yang menyaksikan drama kematian anak kecil itu berteriak. Mereka seakan tidak percaya akan keengganan Haji Masdar untuk menyerah. Orang tua itu lebih memilih cucunya mati dibandingkan mengubah pendiriannya.

Gadis kecil yang tidak mengerti apa yang terjadi harus mati. Darah mengalir di lantai. Jasad anak itu terkapar di lantai tepat di depan orang tua itu.

Para warga yang menyaksikan hanya terperangah. Mereka sulit mempercayai kejadian ini.

"Juragan! Kau kejam! Kau korbankan cucumu sendiri ...."

"Itu resiko perjuangan! Dia akan masuk surga!"

"Persetan dengan surga! Aku mundur! Aku pergi! Aku menyesal sudah menjadi pengikut setiamu!"

Seorang laki-laki marah dan membantingkan parang ke tanah. Dia balik badan dan pergi ... diikuti oleh laki-laki lain yang nampaknya punya pikiran yang sama.

Kini, Haji Masdar tinggal sendiri.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang