46

43 16 0
                                    

Meja kerja pria itu masih menyisakan setumpuk berkas. Artinya, dia belum menyelesaikan pekerjaannya bahkan hingga hari gelap. Dia meregangkan otot dengan berjalan hilir mudik di dalam ruangannya yang luas.

"Dorr!"

Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan dari arah pintu gerbang.  Pria itu pun berjalan ke arah jendela, penasaran dengan apa yang tengah terjadi.

Nampak di luar para petugas jaga sedang mengerumuni seseorang yang meronta-ronta. Bagi pria itu, ini merupakan kejadian pertama kalinya setelah beberapa pekan dia diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Dan, dia harus belajar membiasakan diri pada kejadian serupa, karena dia akan berada di kantor itu setidaknya dalam empat tahun mendatang.

"Hei penjaga!"

Seorang penjaga yang sedari tadi berdiri di depan pintu berjalan menghampiri, "Iya, Tuan."

"Ada apa di luar?"

"Saya belum tahu, mungkin ada penyusup."

"Apakah hal seperti ini sering terjadi di sini?"

"Cukup sering, Tuan."

Orang yang dipanggil "tuan" itu menganggukkan kepala. Si penjaga tahu maksudnya, dia kembali ke tempatnya berdiri.

Pria itu kembali duduk di belakang meja kerjanya. Dia menyentuh kertas kerjanya. Tangannya hanya membolak-balik lembaran kertas kekuningan bertuliskan huruf dan angka yang membosankan.

Siapa dia, harus meronta-ronta di depan gerbang?

Pria berkumis runcing itu menjadi tidak nyaman dengan kejadian yang dilihatnya. Dia penasaran. Tubuhnya kembali beranjak dan berjalan ke arah jendela.

"Penjaga! Cari tahu, apa kepentingan orang itu!"

Si penjaga yang siap menjalankan perintah sejak tadi berlari menuju tangga. Dia mencari informasi pada petugas jaga yang berdiri di beranda. Bagi pria bersenjata itu, lari-lari diantara lorong dan tangga di gedung sudah menjadi bagian dari tugas. Bahkan sudah dilatih sebelum dia menjalankan tugas.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan informasi mengenai kejadian di gerbang utama. Penjaga itu sudah sampai di hadapan tuannya.

"Dia anak Haji Masdar, Ketua Perhimpunan Pribumi, Tuan."

"Untuk apa dia datang ke sini?"

"Bermaksud bertemu Anda. Tapi penjaga berhasil mencegahnya."

Si penjaga kembali ke tempatnya setelah sang tuan menganggukkan kepala.  Di depan pintu, penjaga itu berpapasan dengan seseorang yang bermaksud bertemu Sang Gubernur. Pria itu masih muda, berjalan tegap dengan memasang wajah serius.

"Maaf, Tuan. Saya bermaksud menyampaikan sesuatu?"

"Tentang gadis yang meronta-ronta di pintu gerbang?"

"Benar, Tuan. Anda bisa menerka pikiran saya."

"Tentang Perhimpunan Pribumi? Selama ini kebijakan kita pada mereka, bagaimana?"

"Eee, kita memelihara mereka. Berharap tidak menimbulkan masalah."

"Jika Perhimpunan itu tidak mengganggu keamanan ... ya kita tidak usah repot-repot memperkarakan mereka."

"Tapi, mereka membuat kita kesulitan  mengamankan cadangan pangan kita, Tuan."

"Tidak bisakah kita memperoleh sumber dari tempat lain?"

"Ada, tetapi terlalu jauh. Biaya angkutnya terlalu mahal. Mereka yang terdekat."

Sang Gubernur berpikir sejenak. Dia berdiri di tepi meja. Sedangkan Staf Khusus yang menemuinya hanya duduk di kursi yang tersedia untuk  berdiskusi. Jarak diantara mereka sekitar tiga langkah, tidak mau berdekatan.

"Bagaimana saranmu?"

"Kita adakan operasi penangkapan, dengan tuduhan pemberontakan."

"Bukankah itu malah membuat warga di tempat  lain terinspirasi untuk mengikuti jejak mereka?"

"Justru saya berpikir warga pribumi lainnya akan takut mengikuti langkah mereka jika kita pidanakan Perhimpunan itu?"

"Kau yakin?"

Si Staf Khusus menganggukkan kepala.

"Kau yakin mereka tidak akan membakar sawah dan ladang mereka, kemudian malah membuat kita kesulitan mendapatkan cadangan pangan?"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang