51

50 19 0
                                    

Bajra begitu lahap menyantap singkong rebus yang dibungkus daun pisang. Perjalanan sejak siang tadi begitu menyita tenaganya. Berharap beberapa potong singkong rebus bisa mengembalikan tenaganya. Namun, dia berhenti mengunyah ketika menyaksikan Asih membiarkan bekalnya utuh tak dimakan.

"Asih, kau tidak suka singkong rebus ya? Buat aku saja."

Bajra bermaksud mengambil sepotong singkong bagian Asih. Sayang, Pratiwi sigap memegang tangan Bajra dan menatapnya dengan mata melotot.

"Ayolah makan, Asih. Kau harus makan." Pratiwi merayu teman yang duduk di sebelahnya.

"Aku tidak punya nafsu makan."

"Asih, dengarkan aku," Panca membuka pembicaraan setelah jatah makan malamnya habis.

Asih tetap memandang ke arah jalan raya dengan tatapannya yang kosong. Tapi telinganya masih bersedia untuk mendengar ucapan temannya itu.

"Kita bersiap-siap untuk rencana selanjutnya."

"Rencana apa lagi?"

"Jika Gubernur Jenderal tidak bisa membantu kita, maka kita harus mencari cara lain untuk menghentikan kejahatan orang-orang yang mengganggu keluargamu."

"Begini ...," Panca belum menyelesaikan kalimatnya karena ada seseorang yang datang ke arah kawanan remaja itu.

Orang itu berjalan dengan langkah tegap. Suara derap langkahnya membuyarkan perhatian Bajra dan Pratiwi. Seorang laki-laki berpakaian serba biru tua dengan senapan menggantung di pundak menghampiri Panca dan kawan-kawannya. Dari keremangan lampu jalan, terlihat orang itu memasang wajah penuh amarah.

"Hei, apalagi yang kalian lakukan di sini? Pergi!"

"Maaf, Tuan. Kami segera pergi."

Panca, Bajra dan Pratiwi beranjak hendak pergi. Tapi, Asih masih enggan untuk berdiri. Gadis itu masih bersikukuh dengan niatnya.

"Ayo Asih, kita pergi saja dulu. Nanti kita ke sini lagi." Pratiwi merayu temannya itu.

"Ayo cepat pergi, atau kami akan melakukan tindakan keras pada kalian."

"Iya, Tuan. Kami akan segera pergi."

Asih perlahan mengangkat tubuhnya. Meskipun tatapan matanya masih menampakan kekecewaan, gadis itu terpaksa menuruti perintah serdadu penjaga yang berdiri dengan tangan di pinggang.

Panca memegang tali kekang si Sadewa, sedangkan Bajra memegang tali kekang si Nakula. Asih berjalan beriringan dengan Pratiwi, dengan langkah gontai. Sesekali keempat remaja itu menengok ke belakang kemudian melihat ke arah Kantor Gubernur Jenderal.

"Sepertinya Gubernur belum pulang. Ruang kerjanya masih terang oleh lampu," Bajra mencoba menerka.

"Ya, kalau dilihat dari sini sepertinya begitu," Pratiwi setuju dengan kata-kata Bajra.

"Aku penasaran, sebetulnya dia tahu atau tidak ya kalau kita ada di sini." Panca turut memperhatikan satu-satunya jendela yang tampak terang oleh lampu.

"Pasti tahu lah. Tadi terdengar suara letupan senapan. Dia pasti mendengar letupan itu," Bajra meyakinkan Panca.

Asih hanya mendengarkan teman-temannya menerka keadaan. Dia terus berjalan dengan wajah menunduk, kehilangan semangat.

Langkah demi langkah kawanan empat remaja dan dua ekor kuda itu menjauh dari Kantor Gubernur Jenderal. Di sepanjang jalan, mereka senantiasa berpapasan dengan serdadu-serdadu yang berpatroli. Sesekali terdengar suara binatang malam yang bersarang di pepohonan. Suara kelelawar yang terbang diantara pohon mangga atau pohon jambu sering terdengar karena jalan di sana begitu sepi.

Mereka berjalan di kawasan pusat pemerintahan. Tidak banyak orang yang lalu-lalang di jalanan. Jika malam menjelang, kawasan itu seperti kampung para hantu. Sepi.

Sesekali Bajra dan Panca memperhatikan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh. Bangunan itu sebagai perlambang kekuasaan sebuah negara yang datang dari tempat nun jauh di sana. Mereka membawa serta budaya termasuk gaya arsitektur khas Eropa yang diterapkan pada bangunan-bangunan itu.

Tuk tak tuk tak ...

Terdengar suara hentakan kaki kuda yang datang dari kejauhan. Sontak Panca dan temannya menengok ke belakang, penasaran dengan siapa yang mendekati mereka.

"Itu ... kereta Gubernur Jenderal!" Panca berteriak karena kegirangan.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang