57

45 20 0
                                    

Burhan duduk di atas kursi rotan yang tersedia di sudut beranda. Matanya menerawang ke atas langit. Kepulan asap dari api unggun tak terlihat karena kalah oleh pekatnya malam.

"Hari ini aku merasa lelah, ini hari paling melelahkan yang pernah aku rasakan."

Haji Masdar tidak menghiraukan kalimat yang terlontar dari mulut Burhan. Orang tua itu hanya duduk bersandar di tembok dekat pintu. Diapit dua pria bersenjata, Haji Masdar seakan sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitarnya.

Burhan menyalakan rokok di tangan kirinya. Semburan asap keluar dari mulut cukup mengurangi kelelahan yang didera. Baju laki-laki itu yang berwarna putih terlihat begitu kotor karena belum diganti sejak pagi.

"Kalau saja kau tidak memulai, semua ini tidak akan terjadi."

Burhan bicara sendirian. Orang-orang di sekitarnya hanya mendengarkan tanpa bermaksud membalas. Apalagi, di pekarangan rumah keadaan sudah sepi dari kerumunan warga. Kini, mereka sudah pulang membawa begitu banyak pertanyaan. Apalagi yang akan terjadi pada Haji Masdar?

"Bagaimana keadaan tawanan yang lain?" Burhan bertanya pada anak buahnya yang berdiri di depan pintu  kamar utama.

"Baik-baik saja, Tuan."

"Mereka sudah diberi makan?"

"Sudah, Tuan."

"Uhhhh ... baguslah. Aku tidak ingin mereka mati kelaparan."

Haji Masdar mengarahkan pandangan pada Burhan yang duduk santai di kursi rotan. Mata orang tua itu memandang orang di hadapannya dengan tatapan penuh kebencian.

"Burhan ...."

"Oh akhirnya kau mau bicara juga? Kau lapar?"

Haji Masdar menggelengkan kepala.

"Lantas?"

"Apakah kau berpikir jika aku akan menuruti semua kemauanmu?"

"Ya, tentu saja. Kuharap begitu."

"Lalu, apa rencanamu selanjutnya?"

"Hanya ingin menjalani hari-hariku dengan damai."

"Kau tidak pernah merasakan kedamaian."

"Bagaimana kau tahu?"

"Kau terlalu dibutakan ambisi."

"Kau salah ... aku tidak punya ambisi sepertimu."

"Aku tidak punya ambisi, hanya menjalankan dorongan hati."

"Aku masih tidak percaya jika kau menguasai tanah seluas ini semata-mata hanya ingin dorongan untuk saling membantu."

"Kau tidak akan mengerti karena kau tidak berada di posisi yang sama denganku."

"Di mataku, kau hanya ingin menjadi raja yang berkuasa di desa ini."

"Hahaha ... hanya kebetulan saja aku menjadi pemimpin di sini."

"Jika kau tidak menjadi pemimpin di sini?"

"Aku rela untuk menyerahkan kepempimpinan Perhimpunan Pribumi ini kepada orang yang lebih muda."

"Benarkah kau berpikir begitu?"

"Ya, tentu saja."

Haji Masdar dan Burhan sama-sama terdiam.

"Jadi, sebetulnya kau salah jika melakukan ini semua?"

"Maksudmu?" Burhan memfokuskan pandangan pada Haji Masdar.

"Aku tidak akan menyusahkan orang-orang di sekitarku. Dan ... jika kau bisa sedikit bersabar ... aku bisa saja kembali bertransaksi dengan Pemerintah Hindia Belanda."

Burhan merasa heran dengan kalimat yang terlontar dari Haji Masdar.

"Kau benar, aku menjalankan usaha pertanian di desa ini seperti perusahaan."

"Dan ... Perhimpunan Pribumi hanya ...?"

"Hanya caraku untuk mengendalikan harga. Karena Pemerintah sulit menaikan harga ... maka aku menjadikan sarana politik untuk mendapatkan harga yang sesuai."

"Sudah kuduga, kau menjadikan isu politik untuk menambah keuntungan."

Haji Masdar tersenyum.

"Tapi ... kenapa kau mengatakan itu padaku?"

"... aku hanya ingin mengutarakan jalan pikiranku ... sebelum aku mati."

"Kenapa aku harus tahu isi pikiranmu?"

"Ya ... siapa tahu ini berguna jika kau menguasai lahan ini nanti."

"Oh ... kau mau berdamai denganku?"

"Aku pribadi ... sebenarnya tidak mau berdamai denganmu. Tapi ... aku teringat wajah-wajah warga ketika mereka pulang tadi ... aku khawatir kau memperlakukan mereka dengan semena-mena."

Burhan tersenyum kecut.

"Aku tahu ... kau akan menjadi penguasa di sini ... tapi aku hanya meminta jika  sebaiknya nanti kau perlakukan orang-orang itu sebagaimana aku memperlakukan mereka."

"Tenang saja ... aku tahu apa yang akan aku lakukan."

Burhan menampakan wajah lebih menenangkan saat ini. Dia seperti mendapatkan angin segar jika kekuasaan akan segera didapatkan dalam waktu dekat.

"Aku mulai berpikir jika besok aku berhenti bekerja di Pemerintah. Aku akan mengisi hari tuaku di sini."

Haji Masdar terdiam sesaat. Orang tua itu seperti pasrah pada keadaan. Sifatnya yang pemarah dan penuh semangat, kini tidak terlihat lagi. Dia memejamkan mata, antara lelah dan tak ingin lagi melihat kengerian yang terjadi di depannya.

Di kursi, Burhan pun memejamkan mata. Dia berharap kelelahan segera pergi dan berganti dengan tubuh yang segar. Tiduran sebentar diharap bisa mengabulkan keinginannya itu.

Tuk tak tuk tak ...

Nampaknya Burhan belum bisa beristirahat malam itu. Dia terganggu oleh suara hentakan kaki kuda yang datang ke pekarangan rumah.

"Tuan, maaf Tuan."

Seorang anakbuahnya turun dari kuda kemudian berjalan dengan tergopoh.

"Hei! Darimana saja kau? Mana yang lain?"

"Mereka masih di Batavia?"

"Batavia?"

"Ya, kami mengikuti gadis itu hingga Batavia."

"Tapi kenapa kau kembali sebelum berhasil menangkapnya?"

"Maaf Tuan, saya hanya mau menyampaikan kabar."

"Kabar apa?"

"Lima puluh polisi berkuda sedang menuju ke sini ..."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang