33

45 19 0
                                    

"Bajra, kenapa kau menatap Asih seperti itu?"

"Ah, tidak ...."

"Kau pangling melihat dia."

Pratiwi menggoda Bajra karena menatap Asih nyaris tanpa berkedip. Kini Asih sudah berganti pakaian dengan celana panjang dan baju seperti laki-laki. Dengan rambut digelung dan diikat di belakang kepala.

"Panca mana?" Asih menanyakan tuan rumah.

"Haha ... kau kasihan, Bajra. Justru yang ditanyakan orang lain."

"Kalian bicara apa, ya? Masih sempatnya bercanda." Asih memasang wajah cemberut.

"Maaf, aku hanya mencoba mencairkan suasana." Pratiwi melirik Bajra.

Orang yang ditunggu ternyata datang, Panca menuntun dua ekor kuda. Dengan pakaian rapi dan bersih, Panca menuntun si kuda yang sudah siap dengan pelana di punggungnya.

"Panca, hanya dua ekor? Kita kan berempat."

"Jadi, kalian juga mau ikut?"

"Oh ... maksudmu? Kau mau pergi berdua saja dengan Asih?"

"Ya, tentu saja. Kalian tidak berkepentingan."

"Panca ... lihat aku! Aku sudah siap-siap dari tadi." Pratiwi kesal dengan sikap Panca yang tidak bermaksud mengajaknya pergi.

"Tapi kau bisa dimarahi ayah-ibumu?"

"Ya, tidak usah meminta izin."

Asih melirik Pratiwi dan Panca karena mereka seakan enggan menolong dirinya. Asih menundukkan kepala, "Kalau orang tua kalian tidak mengijinkan, biarlah aku pergi sendiri."

"Hei, maksudnya tidak begitu. Aku hanya tidak ingin kena marah karena mengajak Pratiwi pergi."

"Asih, kau jangan pergi sendiri. Bahaya." Pratiwi memegang pundak Asih.

"Justru aku merasa bersalah jika melibatkan kalian dalam bahaya."

Semuanya diam melihat Asih diterpa rasa bersalah.

"Asih, meskipun kau diam di sini dan tidak melakukan apa-apa ... kau akan tetap dalam bahaya ...," Bajra bicara setelah sebelumnya hanya sebagai pendengar.

"Maksudmu?"

"Mereka akan tetap mencari dirimu, Asih."

Asih berpikir. Merenungkan nasibnya.

"Kau sadar, mereka tidak akan membiarkanmu hidup, Asih."

Empat anak remaja itu hanya terdiam mendengar pernyataan Bajra. Mereka berpikir berulang kali.

"Asih, Bajra benar. Kita harus segera bertindak. Kau sadar, mungkin sekali orang yang mengejar dirimu tahu ke mana kau pergi karena mereka melihatmu berlari ke arah desa ini."

Asih hanya terdiam. Kemudian menangis.

"Hei, kau harus tegar. Ingat keluargamu dan warga Desa Sugihmakmur, mereka harus kita selamatkan. Kau tidak inginkan korban berjatuhan lebih banyak lagi?"

Asih menganggukkan kepala.

Panca, Bajra dan Pratiwi mencoba menenangkan Asih yang terkesan sudah mulai hilang harapan. Dia bingung dengan apa yang terjadi.

Ketika mereka sama-sama terdiam, dari arah belakang datang seorang anak kecil. Dia berlari kencang sambil   menatap pada Asih. Kemudian, langkahnya terhenti ketika sudah dekat dengan 2 ekor kuda yang sedang merumput.

"Ada yang mencari kamu, Asih."

"Siapa?"

"Lima orang ... mereka berkuda dan membawa senapan ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang