47

51 18 0
                                    

Warga Desa Sugihmakmur masih bertanya-tanya dengan maksud Burhan mengumpulkan mereka di pekarangan rumah Haji Masdar. Diantara mereka tidak ada yang tahu persis kenapa harus berkumpul di saat malam yang seharusnya mereka beristirahat di rumah dan bersembunyi. Bersembunyi dari malapetaka yang dialami keluarga juragan mereka yang selalu dijadikan panutan.

Diantara mereka banyak yang merasakan ketakutan ketika melihat tumpukan mayat yang telah hangus terbakar. Samar-samar terlihat tangan dan kaki yang masih terikat mengacung ke atas menunjuk langit.

"Saya mau pulang saja." Seorang warga bermaksud menghindar untuk tidak berlama-lama menghirup udara bau hangus di hadapannya.

"Hei! Diam di sana atau kutembak!" seorang anak buah Burhan membentak orang yang bermaksud pulang itu.

"Iya, Tuan. Maaf."

Malam itu, ditemani cahaya remang-remang dari api unggun yang masih menyala, warga berkumpul dan duduk bersila. Pria dan wanita tidak terkecuali. Tua dan muda semuanya berkumpul di sana.

"Bagus, kalian tidak melarikan diri ke mana-mana. Kalian masih setia berada di sini," Burhan memulai pidatonya.

"Maaf, Tuan. Kami jangan diapa-apakan. Silakan saja Tuan mengambil padi yang kami miliki."

"Ooo ... tidak-tidak. Aku hanya ingin bicara dengan kalian semua. Pertama,  aku mau bertanya ... kenapa kalian masih tinggal di desa ini? Bukankah kalian bisa kabur dan meninggalkan desa ini?"

Tidak ada orang yang berani menjawab. Semuanya terdiam.

"Hei, kau yang paling depan. Jawab!"

"Eee ... saya ... saya masih mau tinggal di sini."

"Iya, kenapa? Kau masih mau membela juraganmu ini?"

Orang yang ditanya mengangguk. Meskipun anggukan yang pelan, setidaknya Burhan mengerti alasan orang itu.

"Apakah kalian juga sama, masih mau membela juragan kalian ini?"

Orang-orang yang berkumpul di kegelapan itu tidak bisa menjawab dengan tegas. Maklum, mereka diawasi oleh sekelompok laki-laki bersenjata.

"Atau, kalian takut kehilangan harta kalian?"

Banyak diantara warga yang mengangkat wajah mereka setelah sebelumnya tertunduk lesu. Burhan bisa membaca bahasa tubuh mereka. Pertanyaan laki-laki itu seakan menelisik isi hati orang-orang di hadapannya.

"Tadi siang, kalian membela mati-matian orang tua ini. Sekarang, kalian seakan tidak peduli dengan nasibnya." Burhan menegaskan inti pembicaraannya sembari menunjuk Haji Masdar yang menjadi pesakitan.

"Kau jangan terus mengadu domba kami, Burhan," Haji Masdar menyela pembicaraan Burhan.

"Hahaha ... aku tidak bermaksud mengadu domba kalian. Kau sendiri yang menentukan nasibmu, Juragan!"

Haji Masdar menutup kembali mulutnya. Dia teringat kejadian tadi siang ketika sebagian warga meninggalkannya pergi karena tidak sepaham dengan pendirian orang tua itu.

"Baiklah, aku ingin bertanya pada kalian semua, satu per satu harus menjawab pertanyaanku." Burhan menyibakkan pandangan. Matanya tertuju pada wajah-wajah yang keras karena kerasnya kehidupan.

Burhan berjalan mendekati seorang perempuan, "Kau sendiri, apakah kau mau membiarkan Juragan Masdar ... hidup atau mati?"

Orang yang ditanya langsung kaget, bola matanya hampir keluar. Terlihat jelas matanya memantulkan cahaya dari api unggun yang terus menyala.

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang