"Juragan Haji, kau tahu ... jika ada manusia di bumi yang memiliki sifat begitu serakah."
Burhan kembali memainkan kata-kata demi mengubah pendirian seseorang yang keras kepala seperti Haji Masdar. Wajah orang itu didekatkan pada wajah tiga orang anak kecil yang ketakutan. Mereka ketakutan, sangat ketakutan, karena harus melihat tumpukan mayat berlumuran darah, kerumunan laki-laki menghunus senjata serta kakek tua yang tak berdaya.
"Manusia serakah itu ingin menguasai banyak hal di dunia ini. Awalnya, dia ingin menguasai dirinya sendiri. Dia tidak ingin dikuasai orang lain, kemudian dia ingin menguasai orang lain."
Semua mata memandang Burhan. Mereka berharap Burhan bicara tanpa bertele-tele, tetapi itulah cara pria berbaju putih itu untuk mengulur waktu.
"Semua jengkal tanah di dunia ini sepertinya ingin dia kuasai. Baginya, kekuasaan adalah tujuan utama hidupnya. Ketika dikuasai, dia menolak."
"Apa maksud kata-katamu?" Haji Masdar jengkel dengan untaian pidato Burhan.
"Itu kau! Kau tidak ingin menjadi orang yang dikuasai. Bahkan orang so' berkuasa sepertimu tidak ingin kata-katanya dibantah."
Haji Masdar memalingkan muka. Ingin rasanya dia menutup telinga karena enggan mendengar untaian kata yang keluar dari mulut Burhan. Sayang, tangannya diikat kuat ke belakang.
"Bahkan, ketika cucu-cucumu membantah kata-katamu ... kau marah. Marah besar."
"Itu caraku mendidik cucuku."
"Ya, tapi tahukah kau ... anak dan menantumu tidak sudi jika cucumu itu dibentak di depan umum."
"Ah, darimana kau tahu? Kau mengarang."
Burhan malah tertawa ketika kata-katanya disanggah oleh Haji Masdar.
"Kau suka membaca surat kabar, Juragan?"
"Tentu saja, aku bisa membaca."
"Dan, kau tahu jika menantumu suka menulis di surat kabar?"
"Tentu saja, dia wartawan di Koran Batavia."
"Dan, dia sering mengeluhkan caramu mendidik cucumu ...."
"Kapan?"
"Oo ... tentu saja kau tidak akan tahu karena dia menggunakan nama samaran."
Haji Masdar tersenyum sinis.
"Kau ... pasti tahu nama itu ... karena itu ada di koran yang belum lama ini kau baca."
Burhan menunjuk ke tumpukan koran di bawah meja tamu. Anak buahnya mengerti, koran itu diambil kemudian diserahkan pada Burhan.
"Mana ya ...," Burhan membuka-buka lembaran demi lembaran Koran Batavia, "... nah ini."
Burhan membuka salah satu halaman yang dia cari. Sebuah koran berbahasa Melayu yang sangat familiar dengan kaum pribumi di sekitar Batavia.
"... Pernah anak saya dimarahi di depan umum karena dia melakukan kesalahan kecil ... Bla bla ... Itu bukan cara untuk mendidik anak tetapi sikap egois orang tua yang selalu ingin terlihat sempurna di depan khalayak ...."
Haji Masdar menarik nafas kemudian menyebutkan sebuah nama, hanya nama pena, dari penulis artikel itu, "Abimana."
"Ya, 'Abimana' ... Abi adalah ayah, Ma ... mungkin Mar'ah dan Na ... mungkin Nasir ... cucu-cucumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...