19

50 23 0
                                    

Burhan berjalan mendekati Haji Masdar yang berdiri mematung. Orang tua itu kalut, takut sekaligus tidak menyangka jika petugas pengumpul pangan itu bisa bertindak kejam.

"Kenapa Juragan? Kaget dengan apa yang kami lakukan?" Burhan tersenyum kecut.

"Tuan, tidak seharusnya kau melakukan ini."

"Kau sendiri yang tidak bisa diajak bicara, Juragan Haji."

"Aku tidak pernah melakukan kekerasan padamu!"

"Tapi kau ngeyel tidak mau menjual padi pada kami! Malahan kau mendirikan Perhimpunan demi mengajak warga lain menolak bertransaksi dengan kami!"

"Hahaha ... berarti misi kami berhasil. Biro Urusan Pangan mulai kekurangan cadangan makanan ...."

"Diam!"

"Ha! Kenapa tidak kalian tanam sendiri padi di tanah yang kalian kuasai?"

"Kau sudah tahu jawabannya. Kami memilih menanam tanaman yang bisa diekspor dibanding menanam padi. Lagipula, kami ingin membantu warga agar lebih mudah menjual hasil panennya."

"Kalian memaksa! Memaksa membeli padi dengan harga rendah!"

"Diam! Apa yang ada dalam pikiranmu Juragan Haji, ketika centeng yang menjaga rumahmu telah mati masih saja kau bersikukuh untuk melawan kami ...."

"Ha, jika kalian mengajak kami berperang ... maka kami akan melayani ...."

"Bohong! Kau berbohong. Aku tahu jika warga yang bergabung dengan Perhimpunan Pribumi tidak mau berperang. Mereka memilih tunduk pada Pemerintah. Tapi ... kau merayu mereka dengan dalih jika gerakan ini tidak menggunakan kekerasan."

"Kamu seakan tahu segala hal tentang kami."

"Karena kami sudah mengumpulkan informasi tentang Perhimpunan Pribumi jika akan melakukan gerakan serentak untuk melawan kami."

Haji Masdar terdiam. Dia tidak membantah pernyataan Burhan.

"Musim panen sudah dimulai, kalian akan menolak menjual padi pada kami dengan sama-sama mengunci lumbung padi yang kalian miliki."

"Bagus kalau Pemerintah sudah tahu."

"Untuk itu, kami tidak diam."

"Jadi, apa maumu?"

"Tarik kembali niat kalian!"

"Tidak, tekad kami sudah bulat."

"Hei! Lihatlah sekelilingmu Haji Masdar! Mayat-mayat bergelimpangan! Apakah kau ingin kami menambah lagi mayat di depan matamu!"

"Itu resiko perjuangan."

Burhan menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti bagaimana bisa gertakan yang sudah mengorbankan nyawa tidak sanggup meruntuhkan pendirian Haji Masdar. Orang tua itu benar-benar keras kepala.

"Kau keras kepala! ... Pantas sekali kau sanggup memimpin begitu banyak pengikut." Burhan menarik nafas. Kemudian dia melirik ke salah satu anak buahnya yang sedari tadi mengarahkan senapan ke kepala Haji Masdar. "Bagaimana dengan ini? Masihkah kau bersikukuh?"

Anak buah Burhan menyeret seseorang. Dua laki-laki berjanggut dan berjambang lebat mengapit seorang perempuan setengah baya dari ruangan belakang rumah menuju beranda.

"Bapa ...," lirih terdengar suara perempuan itu.

"Ibu ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang