59

47 18 2
                                    

"Allohu Akbar ...," suara pelan keluar dari mulut Haji Masdar.

Ketika suasana semakin hening, mulut Haji Masdar komat-kamit melafalkan bacaan sholat. Meskipun tangan dan kakinya masih terikat, dia masih menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat.  Tanpa gerakan yang semestinya, Haji Masdar melafalkan kalam Illahi dalam sholatnya.

"Dia sedang berdoa rupanya," seorang anak buah Burhan berkomentar dengan nada mengejek.

"Dia sedang sholat."

"Bagaimana bisa, tangan dan kakinya kan terikat."

"Aduh, kau ini benar-benar belum pernah belajar agama sama sekali, ya?"

"Ya, pernah dulu. Dulu sekali." Dengan wajah tak acuh, orang yang menjaga Haji Masdar sejak beberapa jam lalu itu tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan tawanannya. "Hei, kau sendiri, memangnya mengerti agama?"

"Ya, mengertilah."

"Hah, hanya mengerti tapi tidak dijalani."

"Biar saja, itu urusanku."

"Alah, buat apa mengerti agama kalau tidak dijalankan."

"Ya, daripada kau tidak tahu apa-apa tentang agama."

Kedua orang penjaga Haji Masdar itu malah berdebat. Dan, suara mereka terdengar oleh Burhan yang sedang memberikan pengarahan.

"Hei! Diam! Kau tidak bisa melihat kalau aku sedang bicara masalah penting!" Burhan marah kepada dua anak buahnya yang mulai kehilangan konsentrasi.

Kedua anak buah Burhan yang sedang menjaga tawanan itu pun terdiam. Apalagi, pimpinan mereka menghampiri dengan langkah tegap. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar keras karena keheningan malam membuat suara sekecil apa pun terdengar jelas. Meskipun cahaya temaram lampu tempel tidak sanggup memperjelas wajah Burhan, anak buahnya bisa merasakan kemarahan tuannya.

Plak! Plak!

Tangan Burhan mendarat di pipi kedua anak buahnya yang sedang menjaga Haji Masdar. Pria berbaju putih itu tidak berkata apa-apa. Orang yang ditampar tahu maksud tuannya, mereka terdiam.

Burhan kemudian membalikan badan, dia mendapati anak buahnya yang lain sedang berkumpul mengelilingi meja. Di ruang tengah, mereka saling pandang satu sama lain. Wajah mereka menampakkan kelelahan. Burhan pun tahu jika mereka seharusnya sudah siap menghadapi situasi malam itu. Namun, kelelahan yang mendera membuat mereka nampak tidak bersemangat.

"Aku tahu, kalian tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti saat ini." Burhan melangkah menuju ruang tengah. "Tapi, aku janji jika semua ini sudah selesai ... aku akan memberi kepada kalian imbalan yang setimpal."

Anak buah Burhan tidak ada yang memberi tanggapan. Wajah mereka masih sama dengan sebelumnya.

"Begini saja, jika kalian sudah tidak mau bekerja padaku ... maka ... kalian boleh pergi."

Orang-orang yang diajak bicara saling tatap. Mereka merasa heran dengan kalimat yang terlontar dari mulut tuannya.

"Aku membutuhkan orang-orang yang siap tempur, bukan orang-orang yang hanya sanggup menindas orang-orang lemah."

Burhan mulai melihat keraguan pada salah satu anak buahnya. Orang itu paling muda diantara yang lainnya. Di wajahnya belum tumbuh lebat jambang dan kumis. Hanya beberapa helai kumis dan janggut yang menandakan jika dia sudah dewasa.

"Kau, terlihat ketakutan."

"Tidak Tuan, saya hanya gugup."

"Ini pertama kalinya kau akan bertempur?"

"Iya, Tuan."

"Kau boleh pergi, jika tidak sanggup untuk bertempur."

"Benarkah, Tuan?"

"Iya, kau pikir aku bercanda?"

Orang itu semakin terlihat ketakutan ketika diberi pilihan seperti itu. Mungkin dia bimbang apakah harus mengikuti perasaan takutnya atau melawannya demi menyelesaikan tugas.

Tanpa disangka oleh teman-temannya, anak muda itu berjalan dengan tergesa menuju pintu. Dia keluar dari rumah Haji Masdar.

"Hei, kau mau ke mana?" salah seorang temannya kaget dengan keputusan anak muda itu, "kau jangan pergi!"

"Biarkan saja." Burhan menampik.

Anak muda itu berjalan sambil menenteng senjata bermaksud menghampiri kuda yang tertambat di pohon rambutan. Dia ingin segera pergi meninggalkan tempat mengerikan itu.

Dor!

Suara letupan senjata terdengar dari dalam rumah. Anak muda itu tersungkur. Darah keluar dari balik punggungnya. Si kuda yang berada di dekatnya kaget dan mengangkat kaki. Creb! Kaki kuda itu mendarat di kepala orang di hadapannya.

Dari dalam rumah Burhan berjalan pelan. Dia menenteng senapan sambil berteriak, "aku tidak ingin ada orang lemah berada di sini!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang