21

45 21 0
                                    

Di dunia ini ada orang-orang yang dikaruniai kecerdasan untuk memahami pola-pola alam. Orang seperti itu pandai mengamati situasi yang tidak teramati oleh orang pada umumnya.

Bajra adalah salah satu orang yang sering menggunakan intuisi untuk memahami keadaan di sekitarnya. Bagi anak-anak seusianya, dia sering dipanggil 'peramal'. Anak remaja berbadan gempal itu sering meramal cuaca yang akan terjadi. Begitupun hari ini.

"Bajra, apakah menurutmu nanti sore akan turun hujan?" seorang anak bertanya pada Bajra yang sedang berteduh di dahan pohon.

"Oh, tidak."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena sejak kemarin aku mengamati awan yang berarak, tidak ada tanda-tanda jika hari ini akan hujan."

"Ah, darimana kau tahu semua itu?"

"Karena aku mempelajarinya."

Panca tersenyum bangga pada sahabatnya itu. Dia tahu jika Bajra tidak sedang membual. Panca menyaksikan sendiri bagaimana Bajra bisa memperkirakan banyak hal, bahkan dalam keadaan terjepit sekalipun.

Di balik tubuhnya yang gempal, Bajra memang tidak segesit Panca. Bajra penakut jika dihadapkan pada keadaan bahaya. Tapi pikirannya bisa "menangkap" banyak pengetahuan dimana kala itu orang-orang tidak memperoleh pendidikan di sekolah.

Ketika anak remaja seusianya belum pandai membaca, Bajra sudah lancar membaca tulisan Arab, Melayu bahkan sedikit Bahasa Belanda.  Karena kecakapannya inilah, dia sering menjadi pembaca berita bagi warga. Kepala Desa sering mendapatkan kiriman koran dari Batavia yang berisi berita dari berbagai tempat. Dan, Bajra membacakannya di hadapan banyak orang.

Bajra senang dengan apa yang dimilikinya. Dia merasa berguna ketika memiliki kelemahan pada tubuhnya yang sulit untuk bergerak. Dia kurang gesit. Dan, itu sering menjadi bahan ejekan anak-anak. Bahkan, ketika seorang anak lelaki begitu gesit memanjat pohon, dia tidak sanggup melakukannya.

Begitu juga hari itu, Bajra hanya duduk di bawah pohon ketika anak-anak yang lain begitu senang bisa memanjat pohon sampai dahan tertinggi. Mereka menikmati semilir angin di atas pohon. Sedangkan Bajra tampak gelisah dengan menggigit rumput seperti seekor domba yang tidak jauh dari tempatnya bersandar.

"Raden, sebaiknya kita melakukan persiapan."

"Persiapan apa?" Panca bertanya dengan heran terdengar pada nada bicaranya.

Bajra tidak menjawab. Dia bangkit berdiri. Anak remaja itu mengambil sabit kemudian menyabit rumput.

Panca masih bertanya-tanya.

Tapi, seperti biasa. Panca percaya akan apa yang dipikirkan Bajra. Dia mengikuti apa yang dilakukan sahabatnya.

Panas terik matahari membuat tubuh Panca dan Bajra bermandikan keringat. Matahari memang tidak mendekat, tetapi panasnya semakin terasa ketika waktu semakin siang. Apalagi langit kala itu begitu cerah, nyaris tidak ada awan menaungi.

"Katakan padaku, apa yang kau pikirkan?"

"Kau tahu, memang apa yang aku pikirkan tidak selalu menjadi kenyataan ...."

"Aku percaya padamu. Jika ini menyangkut sesuatu yang bahaya ...."

"Tentu, ini tentang Asih ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang