25

47 22 0
                                    

Asih berlari sekencang yang dia sanggup. Gadis itu berlari tanpa tentu tujuan.

Asih tidak tahu hendak ke mana dia pergi. Hal yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana dia bisa menyelamatkan diri. Dia tahu jika jiwa keluarganya sedang terancam, tetapi dia pun tidak mau mati begitu saja. Setidaknya, hari itu Asih masih punya waktu untuk berpikir.

Asih tidak menengok ke belakang barang sekali pun. Dia terus memusatkan pikirannya untuk berlari sekencang mungkin. Langkah demi langkah terus dijalani. Hingga ia tidak menyadari jika Desa Sugihmakmur sudah jauh di belakangnya.

"Ah, dimana aku?"

Asih tidak tahu dia sedang berada di mana ketika kakinya mengajak untuk beristirahat. Hamparan sawah yang menghiasi desanya, kini sudah tidak ada lagi. Asih berada di ujung areal pesawahan yang begitu luas. Saat ini dia berada di pinggir hutan yang dipenuhi dengan pohon bambu.

Pohon-pohon bambu itu menjulang tinggi. Rumpunnya begitu rapat. Sepertinya, sudah lama tidak ada manusia yang mengusik kelestarian rumpun bambu ini. Tidak ada bekas pohon yang ditebang.

Angin kencang membuat dedaunan tumbuhan berongga itu saling beradu. Karenanya, timbul suara gesekan diantara daun-daunnya yang hijau. Sesekali terdengar suara batang bambu yang saling berbenturan ketika angin membuatnya berayun.

Asih melihat begitu banyak burung kuntul di sela-sela rumpun bambu. Suara mereka begitu berisik. Jumlah mereka sangat banyak.

"Tempat apa ini?"

Bagi Asih, ini adalah tempat asing. Dia belum pernah pergi ke tempat seperti ini. Dia bukan seorang gadis petualang. Ayahnya tidak memperbolehkan anak remaja itu untuk pergi lebih jauh dari pekarangan rumahnya. Walaupun, pekarangan rumahnya itu begitu luas.

"Ah, memang sebuah tempat yang nyaman bagi burung-burung ini untuk bersarang."

Asih duduk di tanah yang dipenuhi guguran daun bambu. Selain pohon bambu, dia tidak melihat pohon lain yang tumbuh di sana. Adapun pohon kiara atau pohon beringin, masih jauh dari pandangan.

Gadis remaja itu merasa lebih aman berada di situ. Dia merebahkan tubuhnya.

Mata Asih memandang ke langit. Di ujung bilah-bilah bambu itu beberapa ekor kuntul sedang berjemur. Gadis itu memperhatikannya. Dia teringat sesuatu.

"Mungkin sekali mereka bur
ung-burung yang suka bertandang ke sawah milik Bapa."

Asih terperanjat.

"Bagaimana keadaan Bapa?"

Gadis itu teringat Bapanya. Dia ingat jika terakhir kali Burhan sedang menodongkan senjata pada orang tua itu.

Kemudian, pikirannya teralihkan ketika seekor anak burung kuntul terjatuh dari sarangnya. Anak burung itu nampaknya sedang belajar terbang. Asih tersentuh untuk membantu si anak kuntul. Sepertinya dia membutuhkan bantuan. Anak burung itu belum memiliki bulu yang sempurna. Warna putihnya masih bercampur dengan kulitnya yang nampak kemerahan.

Asih beranjak. Dia bermaksud menolong untuk mengembalikannya ke sarang atau menyimpannya di tempat yang lebih aman. Tetapi ...

Haaap!

Seekor musang tiba-tiba keluar dari tempat persembunyiannya. Asih kaget ketika melihat musang itu lompat dari akar bambu yang membentuk lubang. Warna bulunya yang gelap membuat Asih dan si anak kuntul itu tidak menyadari keberadaan makhluk itu sejak tadi. Padahal, dia sudah menunggu di lubang yang cukup gelap.

"Eiitt!"

Asih jadi teringat nasib dirinya yang diterpa bahaya laksana anak kuntul itu ...

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang