39

45 19 0
                                    

Kaki-kaki kuda itu beradu dengan tanah jalanan yang berdebu. Angin kencang turut serta membawa debu-debu beterbangan. Siapa pun yang berada dekat kuda-kuda yang berlari kencang itu maka dapat dipastikan wajahnya kelilipan.

"Panca, kenapa tadi lama sekali? Aku dan Pratiwi mulai kesal menunggu kalian di kebun singkong," Asih bertanya pada Panca yang sedang berkonsentrasi memacu kudanya agar kencang berlari.

"Tadi, ada insiden kecil."

"Kenapa?"

"Mereka menanyai anak-anak kecil tetanggaku."

"Terus?"

"Akhirnya aku kabur saja sebelum anak itu bicara panjang lebar."

Tuk tak tuk tak!

Kerasnya kaki kuda menghantam tanah membuat suaranya terdengar puluhan meter ke belakang. Dan, di belakang itu ada juga Bajra yang membonceng Pratiwi. Mereka saling berkejaran. Berkejaran dengan waktu.

"Menurutmu, apakah kita bisa sampai Batavia sebelum malam?" Pratiwi bertanya pada Bajra yang terus memicingkan mata.

"Kukira, bisa."

"Apakah Si Nakula sanggup berlari tanpa henti hingga sampai di sana?"

"Itu juga yang aku khawatirkan. Si Nakula dan Sadewa belum pernah berlari kencang tanpa henti hingga sampai ke sana."

Kepulan debu itu perlahan berkurang.  Jalan desa dengan hamparan tanah memanjang mulai berganti dengan tanah berbatu. Pohon-pohon rindang di kiri dan kanan jalan turut menghiasi jalan yang memanjang hingga ke arah utara.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja Si Nakula dan Si Sadewa berlari, mereka sudah disuguhkan pada pemandangan yang berbeda. Jika sebelumnya mereka sering berjumpa dengan kebun singkong, maka saat ini pesawahan mulai nampak di depan mata. Sawah yang terhampar luas dibelah oleh jalan desa yang rapi.

"Hiya hiya hiya!"

Si penunggang berteriak keras sebagai pertanda jika mereka membutuhkan jalan untuk melaju. Dan, berharap orang yang ada tidak menghalangi.

Ini bukan pertama kalinya Panca menunggang kuda ke Batavia. Tapi, ini pertama kalinya dia memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Tidak sia-sia menyiapkan Si Nakula dan Si Sadewa sejak sebelum dzuhur sehingga mereka bisa makan kenyang.

Ketika matanya berkonsentrasi melihat jalan, terbersit dalam pikiran Panca untuk melakukan sesuatu. Dia menengok ke belakang, kemudian mengacungkan tangan.

Pratiwi yang berada di belakang melihat tangan Panca yang teracung. "Apa maksud Panca?"

"Dia mengajak kita mengambil jalan lain, nanti di persimpangan," Bajra menjelaskan.

"Maksudmu, jalan pintas?"

"Ya, berharap bisa menghemat waktu."

"Apakah komplotan penjahat itu tahu?"

"Jangan sampai tahu dong."

Pratiwi yang memegang erat perut Bajra mulai memahami jalan pikiran saudara sepupunya. Dia hanya menyerahkan urusan ini pada Panca. Begitu juga Bajra, mereka yakin Panca punya maksud tertentu kenapa berniat mengambil jalan utama.

"Bajra, bukankah jalan pintas itu masih hutan?"

"Ya, jalannya sempit."

"Bukankah itu mempersulit."

"Aku tahu, tapi aku juga paham maksud Panca."

"Tapi, untuk apa ya ...?"

Dalam waktu beberapa menit, persimpangan jalan yang dimaksud sudah terlihat di depan mata. Hanya butuh waktu beberapa detik untuk mencapainya.

Dan, dalam waktu itu juga maksud Panca mengambil jalan pintas dimengerti Pratiwi. Gadis itu mendengar samar-samar derap langkah kaki kuda. Dia menengok ke belakang kemudian memicingkan mata.

"Bajra, mereka mengejar kita!"

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang