Malam yang dingin kembali berubah menjadi lebih hangat, bahkan cenderung panas. Anak buah Burhan menambah kayu bakar pada api unggun yang menyala di halaman rumah Haji Masdar.
Panas, bukan hanya karena suhu udara di sekitarnya. Panas pun terasa hingga hati sebagaimana dirasakan puluhan warga Desa Sugihmakmur yang duduk bersila di sekitar api unggun itu.
Malam itu, warga harus dihadapkan pada kenyataan jika pemimpin mereka nasibnya berada di tangan para petani itu. Bagi warga desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan, ini adalah situasi yang langka. Bahkan, ini adalah kejadian pertama kali dalam hidup mereka yakni menghakimi orang yang selama ini menolong mereka.
"Bagaimana, aku perlu jawaban kalian malam ini juga. Apakah Juragan Haji Masdar masih layak untuk hidup atau tidak?"
Burhan menegaskan kembali apa maksudnya mengumpulkan warga di tengah todongan senapan seperti saat ini. Warga yang ditanya tidak satu pun yang sanggup menjawab dengan tegas.
"Baiklah, aku tahu ini tidak mudah bagi kalian. Tapi, aku ingin memberi kalian bahan pertimbangan," Burhan berjalan mengitari warga, "jika kalian masih bingung maka itu keterlaluan."
Semua orang terdiam. Antara bingung dengan pendapat mereka sendiri atau tidak mau berbeda dengan orang lain.
"Maaf Tuan, apakah ini suatu keharusan?"
"Ya, tentu saja. Karena ini pun berhubungan dengan nasib kalian di masa depan. Jika kalian tidak mau memberikan pendapat maka aku anggap kalian tidak ada. Artinya, kalian mati ... mayat kalian akan dibakar sama dengan mereka."
Burhan menunjuk api unggun. Wajahnya mendekat pada orang yang sebelumnya bertanya.
"Baiklah, coba pertimbangkan. Jika orang tua ini mati maka kalian bisa menggarap lahan atau bahkan kalian bisa memiliki lahan yang saat ini sedang digarap. Kalian tidak perlu membagi hasilnya dengan juragan kalian."
Pria dan wanita yang duduk di tanah itu saling lirik. Diantara mereka ada yang saling berbisik.
"Tapi, jika kalian tetap membiarkan orang tua ini hidup maka kalian dianggap sebagai pemberontak negara. Kalian dianggap sebagai pendukung orang tua ini. Kalian akan tetap hidup, tetapi kehidupan kalian tidak akan tenang karena terus diawasi polisi."
Seorang laki-laki yang duduk di belakang berkata dengan setengah berteriak, "Saya memilih untuk membiarkannya mati!"
Sontak warga lain menengok ke arahnya. Mata mereka saling pandang.
"Hei, kau tidak tahu terima kasih. Juragan Haji sudah banyak menolongmu!"
"Tapi aku tidak mau terus hidup susah. Aku tidak punya apa-apa. Rumahku pun berdiri di tanah miliknya."
Ini menjadi tontonan menarik bagi Burhan. Haji Masdar yang terdiam pun angkat bicara. Orang tua itu marah pada seorang laki-laki yang terang-terangan mengkhianatinya.
"Hei, dasar kau pengkhianat!"
"Tidak Juragan! Juragan sudah memanfaatkan saya. Juragan sengaja mengajak saya agar saya bergantung pada juragan!"
"Aku menolongmu!"
"Tidak Juragan, kami dipungut dari jalanan kemudian kami diperkerjakan seperti seekor kerbau!"
"Tapi aku memberi kalian upah yang sepadan."
"Upah? Upah apa? Tanah, rumah semua bukan milik kami. Kalau sekedar makanan yang kami dapat, sama saja seperti kerbau."
"Kalau kalian tidak bekerja denganku, lalu kau mau hidup dimana?"
"Awalnya saya menyangka hidup saya akan lebih baik, tapi bertahun-tahun kami di sini ... hidup saya hanya sedikit lebih baik dari seorang budak."
"Tapi kau bisa mati kelaparan di sana!"
"Ya, saya bisa mati kelaparan di sana. Tapi setidaknya saya punya waktu untuk beristirahat. Di sini, kami harus bekerja dari pagi buta sampai menjelang malam. Tanpa hari libur."
"Ah! Itu pikiran kau saja yang malas!"
"Tidak, kau mempermainkan pola hidup kami. Dimana seharusnya saya beristirahat setelah selesai panen, saya diharuskan membantu warga lain menggarap sawahnya."
"Itu demi kepentingan bersama."
"Bersama? Itu kepentinganmu! Kau bisa tenang pergi ke sana ke mari tanpa khawatir dengan sawah yang di serang hama atau tidak teraliri air. Kau bisa pergi ke Mekah selama berbulan-bulan tanpa takut kekayaanmu berkurang."
"Tapi tanggung jawabku besar!"
"Bukan! Kau membuat kami terus bekerja tanpa henti! Kau memeras tenaga kami dengan permainan kata-kata yang keluar dari mulutmu!"
"Jaga ucapanmu, kau sadar berhadapan dengan siapa?"
"Ya, saya sadar saya sedang berhadapan dengan orang yang pandai mengelabui orang-orang bodoh seperti kami ... Ingat Juragan ... kera saja bisa belajar dari keadaan ... apalagi kami sebagai manusia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...