53

45 17 0
                                    

Asih berdiri di tengah jalan raya. Anak gadis itu mengabaikan resiko jika bisa saja tertabrak kuda yang sedang melaju.

"Hei, jangan berdiri di situ!" seorang tentara pengawal berteriak pada Asih. Dari atas pelana dia menodongkan senjata ke arah Asih.

"Saya mohon, beri saya kesempatan untuk bicara, Tuan." Asih memohon sembari merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Gadis itu memohon sambil menangis tersedu.

"Tidak! Kau membahayakan!"

Pengawal itu bersikeras untuk tidak memberi kesempatan pada Asih. Pengawal lainnya malah memberikan ancaman serius.

"Kuhitung sampai 3, bila tidak pergi maka aku akan menembakmu!"

"Saya mohon, Tuan. Beri saya kesempatan untuk bicara."

"Satu ...," pengawal itu mulai menghitung.

"Tuan Gubernur! Tolong Bapa saya. Dia dalam bahaya! Tuan Burhan mau membunuhnya!"

"Dua ...."

Pengawal itu sudah siap menarik pelatuk. Moncong senjata hanya berjarak kurang dari 2 meter dari kepala Asih.

"Tahan tembakan!"

Suara perintah datang dari Staf Khusus. Dia berdiri di depan kuda-kuda yang sedang merasakan kebingungan karena situasi yang tidak biasa.

"Siapa Burhan?"

"Tuan Burhan, kepala Biro Urusan Pangan menembaki warga yang sedang berjaga di rumah saya. Tolong hentikan dia. Saya khawatir seluruh warga desa akan menjadi korbannya."

Si Staf Khusus terdiam, antara percaya dan tidak dengan apa yang didengarnya.

"Benarkah begitu?" suara Gubernur Jenderal terdengar dari arah belakang.

"Ya, Tuan. Tolong hentikan, saya mohon."

"Kenapa dia bertindak di luar rencana?" Gubernur Jenderal bertanya kepada Staf Khusus. Orang yang ditanya hanya menggelengkan kepala.

"Hei, siapa namamu?"

"Asih, Tuan."

"Jika kami membantumu, apakah kau bisa menjamin jika ayahmu tidak melawan Pemerintah?"

"Saya menjamin, Tuan. Saya siap menjadi jadi jaminannya."

"Kalau ternyata ... dia bersikukuh?"

"Tuan, boleh menangkapnya."

"Benarkah?"

"Ya, asalkan warga desa tidak menjadi korban selanjutnya."

Si Staf Khusus melirik ke arah Gubernur Jenderal yang kini berdiri di sampingnya. Dia menganggukkan kepala.

"Kau ... ke sini untuk membela ...."

"Saya hanya ingin hidup damai, Tuan.  Sejak Bapa mendirikan Perhimpunan, hidup kami jauh dari ketenangan. Saya hanya ingin semuanya kembali seperti dulu."

"Aku mengerti maksudmu, tapi apakah kau tahu jika Tuan Haji Masdar kami tangkap ...."

"Saya akan kehilangan banyak harta, saya tahu itu. Lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan saudara, Tuan."

Gubernur Jenderal menganggukkan kepala.

Dari kejauhan, Panca, Bajra dan Pratiwi menyaksikan bagaimana temannya begitu berani menghentikan rombongan pejabat. Dengan pengawalan ketat, sungguh beresiko berurusan dengan para pengawal bersenjata. Kematian bisa saja menghampiri karena dianggap pengacau.

"Hei, kalian ke sini!" seorang pengawal melambaikan tangan pada Panca dan kawan-kawannya.

"Baik, Tuan."

Panca, Bajra dan Pratiwi menghampiri kereta kuda yang terparkir di tengah jalan. Di bawah temaramnya lampu jalanan, mereka berkumpul dan saling bicara.

"Aku tahu, kalian pasti punya alasan kuat untuk datang menemui saya. Hanya saja, perlu kalian tahu jika ini masalah yang pelik. Jika saya akan melakukan tindakan tegas pada Haji Masdar, apakah kalian tidak keberatan?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Gubernur Jenderal. Bisa dimengerti jika itu sulit diterima, apalagi oleh Asih.

"Asal kalian tahu, Tuan Haji Masdar sudah melakukan banyak pelanggaran. Seharusnya dia dihukum atas kesalahannya itu. Tapi, dia akan kami bebaskan ... asalkan dia mau menghentikan semua kegiatan politiknya."

"Kalau kami tidak bisa memenuhi syarat itu?"

"Kami akan membiarkan dia mati di tangan Burhan."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang