48

48 17 1
                                    

Pintu gerbang itu terkesan megah bagi seorang anak desa seperti Asih. Apalagi dijaga oleh begitu banyak serdadu dengan senapan di tangan. Gadis itu mengesampingkan rasa takutnya pada mereka, berharap bisa bertemu dengan orang yang dimaksud.

Matanya masih basah oleh air mata, tubuhnya yang letih karena perjalanan membuat dia tertunduk. Lunglai, tak bertenaga juga sedikit rasa kecewa menerpa tubuhnya. Setelah perjalanan begitu melelahkan ternyata Asih tidak memperoleh hasil yang diinginkan.

"Setidaknya kita sudah berusaha, Asih." Pratiwi mencoba menghibur Asih yang duduk di tanah.

"Ini sia-sia."

"Tidak, tidak ada yang sia-sia." Panca berharap temannya itu tidak merasakan penyesalan yang besar.

"Kalian sadar tidak, jika orang tuaku sedang dalam bahaya! Dan, aku di sini diam saja."

"Diam? Kau pikir apa yang kita lakukan tadi, Asih?" Bajra tidak sepakat dengan pernyataan Asih.

"Ini idemu, Bajra. Kau yang menginginkan kita datang ke sini. Padahal aku bisa bersama keluargaku saat ini."

"Oh, kini kau menyalahkanku." Bajra tidak terima dengan kalimat Asih.

"Tenang dulu." Panca menyela.

"Tenang? Bagaimana bisa aku tenang ketika keluargaku dalam bahaya.

Asih menangis tersedu-sedu. Dia merasa kecewa dengan apa yang didapatkannya kini.

"Seharusnya aku tidak ada di sini. Seharusnya aku tidak bersama kalian." Asih bersikukuh dengan pendapatnya bahwa usahanya sia-sia.

"Hei kau jangan bicara begitu."

"Keluargaku mungkin sudah mati ketika aku pergi. Aku memang pengecut. Seharusnya aku menghadapi bajingan itu, bukan kabur jauh-jauh ke Batavia."

"Kau tidak kabur, Asih. Menurutku ini yang terbaik."

"Terbaik? Menurutmu ini jalan terbaik? Bagiku jalan terbaik adalah aku mati bersama Bapa Ibuku."

"Ibu Bapamu belum mati, Asih. Percayalah."

"Bagaimana kau tahu?"

"Karena Pemerintah membutuhkan Juragan Haji. Mereka tidak begitu saja membunuhnya." Panca memberikan keyakinan pada Asih.

"Maksudmu?"

"Juragan Haji pemasok utama padi bagi Pemerintah di ibu kota. Mereka masih membutuhkannya. Kalau ayahmu meninggal, maka petani di Desa Sugihmakmur tidak ada yang memimpin lagi."

"Dan, itu artinya petani akan bekerja tanpa kedisiplinan. Akhirnya, berpengaruh pada produksi."

Asih heran dengan kalimat Panca dan Bajra. Kata-kata itu seperti keluar dari mulut orang yang berpengalaman dan berpengetahuan luas.

Asih menatap Pratiwi. Dalam keremangan cahaya, Pratiwi terlihat mengangguk dengan penuh keyakinan.

"Sebaiknya, kita pergi dari sini. Serdadu penjaga itu terus menatap curiga pada kita." Panca mengajak Asih meninggalkan gerbang sebelum serdadu itu menembak mereka.

"Kita tunggu saja di seberang jalan. Aku yakin Gubernur Jenderal akan keluar dari kantornya. Lagipula, aku sudah lapar. Sudah saatnya bekal yang kita bawa untuk dibuka."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang