*10*

313 43 0
                                    

Happy Reading *


Lisa belum bisa tertidur, banyak sekali yang menyerang pikirannya. Ia tak dapat jawaban apapun dari pertemuan tadi. Ia juga tak berhasil meyakinkan Elvano agar mengubah rencananya ini. Dan rasa suka yang terus ia lontarkan tentang alasan kenapa ia menginginkan pernikahan ini membuat kepalanya ingin pecah. Juga, kalau ini bukan tentang paras lalu apa? Apa yang bisa didapat seseorang dari kali pertama pertemuan singkat? Ia ingat betul, setelah berkenalan Lisa memang menghindari El di pesta Chandra.

Bahkan saat berkenalan, kenapa El waktu itu menjabat tangannya lebih lama daripada Clafita dan Jennie? Ia sempat mencoba menarik tangannya waktu itu tapi El seolah menahannya. Lisa yakin bahwa itu pertemuan pertama mereka, ia tak pernah bertemu sebelumnya tapi seolah El telah mengenalnya jauh sebelum itu. Lisa tak pernah menderita amnesia, yang bisa membuatnya lupa dengan orang-orang. Lamunannya buyar saat ketukan terdengar di pintu kamarnya.

"Lisa, ini kakak" Dian rupanya.

"masuk kak" Lisa mengambil posisi duduk diatas tempat tidurnya. Dian pun membuka pintu untuk menghampiri adiknya itu. Lalu duduk dipinggiran kasur, menghela nafas sebelum mulai bicara.

"kakak yakin kamu emang belum tidur" ujar sang kakak mengelus lembut rambut Lisa "gimana tadi?"

"gimana apanya kak?"

"pertemuan kamu sama Elvano tadi. Kesan kamu sama dia gimana?"

"menurut kakak sendiri gimana?" tanya Lisa balik. Dian mengkerutkan keningnya dengan pertanyaan adiknya itu "ya aku mau tau aja, kalau dari kacamata kak Dian, Elvano tuh orangnya gimana?" ujar Lisa meminta pendapat.

"kamu minta opini kakak?" tanya Dian memastikan yang dijawab anggukan oleh Lisa "kalau menurut kakak nih ya, tapi jangan bilang kakak cuma mengada-ada biar kamu nerima perjodohan ini. Semua keputusan ada di kamu loh"

"iyaaaa"

"seandainya nih seandainya. Kalau Elvano itu minta kakak yang pengen dia nikahi, kayanya kakak langsung mau deh"

"eh tunggu, iya ya, kenapa bukan kak Dian aja? Yang jelas-jelas udah siap nikah?"ujar Lisa seolah mendapat ide cemerlang.

"udah, ayah udah bilang. Waktu ayah meeting pertama itu, ayah udah bilang kalau kamu punya kakak perempuan juga yang umurnya 5 tahun lebih tua, alias kakak"

"terus dia bilang apa?"

"ya dia ga mau. Katanya ini bukan tentang anaknya ayah, tapi ini tentang Lisa"

"hah? Gimana gimana? Aku ga paham?"

"hedeeeh. Dengerin nih ya, artinya dia bukan pengen nikahin anak ayah, tapi dia mau nikahin kamu, nikahin Lisa. Bahkan kalau kamu bukan anaknya ayah dan anak orang lain, dia tetep mau nikahin kamu" Dian mencoba menjelaskan.

"kok gitu?"

"ya mana kakak tau"

"balik ke pembahasan. Kalau Elvano pengennya nikah sama kak Dian, kakak bakal mau. Emang kenapa kak?"

"tatapan dia ke kamu tuh ngingetin ke tatapan mas Roby dulu ke kakak" ujar Dian sendu. Roby adalah mantan kekasih kakaknya dijaman kuliah. Naas, Roby harus meninggal karena kecelakaan saat di jalan Tol 4 tahun yang lalu. Dian sempat depresi, satu tahun dia harus menjalani masa pemulihan. Sejak saat itu Dian tak pernah mau didekati lelaki lain, seperti belum bisa move on.

"tatapan gimana emangnya? Tatapan dia tadi kayanya dingin, datar, nyebelin, ga ada bagus-bagusnya" tutur Lisa.

"waktu makan tadi, kamu tuh nunduk terus kaya lagi ujian nah Elvano tuh ngeliatin kamu kaya apa ya?" Dian mencoba mencari kata yang tepat "penuh cinta"

"hah? Penuh cinta? Kakak ngelawak?" ujar Lisa dengan tawa tak percaya.

"kok ngelawak sih? Kakak serius nih"

"ya engga" Lisa menggaruk kepalanya "soalnya aku ga ngerasa lagi ditatap penuh cinta"

"ya karena kamu udah benci duluan sama dia. Jadi yang kerasa negatif-negatif mulu" kekeh Dian "kakak ga bercanda, tatapan El ke kamu itu beneran tatapan penuh cinta, tatapan mendamba, tatapan seorang pria ke wanita yang dicintainya"

Lisa diam kali ini mencoba mencerna apa yang Dian katakan. Saat ngobrol berdua tadi Lisa juga nyaman ketika mengeluarkan unek-uneknya. Bahkan sepertinya Lisa tak lagi mempedulikan sopan santun. Ia merasa didengarkan, entah lah seperti ngobrol atau berargumen dengan teman.

"Lis, inget ya ini opini kakak. Walaupun kita sedarah pemikiran kita tentu aja beda. Kamu bebas memilih untuk menerima atau menolak. Tolong jangan terbebani dengan keluarga" ujar Dian sebelum pamit pada Lisa untuk kembali ke kamarnya. Membiarkan Lisa untuk kembali memikirkan opini darinya

*****

EL & ALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang