*30*

210 38 0
                                    


Malam itu cukup cerah, angin yang tidak terlalu dingin dan bulan yang cukup terang. Oleh karena itu Elvano mengajak Lisa untuk bersantai dihalaman belakang. Kebetulan di teras halaman belakang ada dua ayunan santai berbentuk seperti setengah sangkar burung yang terbuat dari rotan dan bantalan nyaman di dalamnya serta selimut, yang menghadap langsung ke kolam renang. Lisa dan El menikmati angin malam itu, saat ponsel Lisa berbunyi panggilan video dari ayahnya.

"halo ayah" sapa Lisa riang menghadapkan ponsel pada wajahnya.

"haloooo. Kamu dimana nak?" tanya sang ayah dengan senyuman teduhnya.

"aku dirumah yah, itu mas El" Lisa lalu menghadapkan ponselnya pada El.

"hai ayah, gimana kabarnya?" El menyapa.

"baik, ayah baik. Gimana? Masih tahan ngadepin Lisa?"

"ih ayah, harusnya aku yang ditanyain gitu" ujar Lisa merengut lalu disahuti tawa oleh sang Ayah dan El.

"tenang yah, masih awal-awal stock kesabaran masih banyak" El menimpali dengan tawa.

"ih, sana-sana" Lisa lalu mendorong El untuk duduk kembali di ayunannya.

"kamu gimana nak? Betah tinggal disana?"

"betah kok yah. Walaupun darah tinggi dikit ngadepin mas El, tapi aman kok"

"Alhamdulillah. Senang ayah dengernya"

"ibu mana yah?"

"dirumah bu RT biasa lah, lagi masak-masak buat acara apa gitu katanya. Kesenengan ibumu emang kan?" Lisa pun tertawa.

"jadi karena ibu ga ada makanya ayah nelpon aku?"

"iya nih. Dian tadi ijin mau nonton sama temen-temennya. Fandy masih dikantor, lembur dia. Kapan kamu main kerumah?"

"hari minggu depan deh yah sekalian"

"ajak suami kamu juga"

"iya, iya nanti diajak juga deh"

"ya udah kalau gitu ayah ga mau lama-lama ganggu orang lagi berduaan"

"apa sih ayah ah"

"daah" lalu panggilan itu pun mati. Lisa pun meletakkan ponselnya kembali disampingnya.

"kamu lebih deket sama ayah daripada sama ibu?" tanya El melihat raut bahagia istrinya. Lisa pun mengangguk, mengiyakan.

"bisa dibilang aku itu anak kesayangan ayah mas" bangganya "jadi walaupun ibu ga sayang aku, semuanya tetap baik-baik aja" Lisa pun melongo, merasa kelepasan.

"ibu ga sayang kamu?" tanya El sambil menegapkan badan.

"bukan ga sayang sih, tapi memang perlakuan ibu ke kak Dian sama kak Fandy beda sama aku. Tapi itu dulu mas, sekarang ibu sudah sayang aku kok" jawab Lisa dengan wajah bahagianya.

"beda gimana?"

"beda. Kalau kakak-kakakku yang ranking ibu luar biasa seneng, tapi kalau aku ibu bahkan ga mau liat raport aku" Lisa mengawang mengingat masa-masa itu "kesalahan sekecil apapun yang aku buat, aku akan langsung dimarahin habis-habisan ga jarang juga ibu mukul. Kalau aku nangis, ibu ga pernah nenangin aku kaya ibu nenangin kak Dian dan kak Fandi. Ibu ga pernah cium aku sebelum tidur. Hal-hal yang kaya gitu lah mas"

Sesak rasanya untuk Lisa mengingat itu, padahal ia tak pernah ingin diistimewakan. Ia hanya ingin mendapat perlakuan yang sama seperti kakaknya.

"kenapa?" melihat Lisa yang mulai murung El mengambil tangan istrinya itu, lalu diusap lembut mencoba memberi kenyamanan, dan Lisa tak menolak "bukannya kamu juga anak kandung ibu?"

"ada tragedi di masa lalu mas"

"apa? Tragedi apa yang bikin seorang ibu membeda-bedakan anaknya?"

Lisa ragu, ia ragu menceritakannya karena itu adalah aib keluarganya, aib untuk ibunya.

"kalau kamu ga pengen cerita, ya udah ga apa-apa Lisa" El tersenyum menenangkan.

"ibu diperkosa mas" Lisa memutuskan untuk bercerita, padahal bahkan ketiga sahabatnya tak pernah ia ceritakan hal ini. Tapi malam ini, ia bercerita untuk pertama kalinya pada orang lain.

"ibu diperkosa oleh salah satu teman ayah saat ayah diluar kota. Laki-laki bejat itu memanfaatkan situasi saat ibu sendirian dirumah, karena kak Dian dan kak Fandy di rumah nenek saat itu" air mata Lisa menetes, memikirkan bagaimana ketakutan sang ibu saat itu. El tetap mengusap tangan Lisa dengan lembut dan mendengarkan dengan baik.

"bajingan itu tertangkap. Tapi trauma ibu ga bisa hilang bahkan sampai saat ini. Ibu ga pernah mau dirumah sendiri. Makanya dimanapun kami tinggal ibu selalu mengakrabkan diri dengan tetangga dan komunitas apapun yang ada di sekitar. Saat siang hari, ayah pergi kerja dan kami sekolah ibu ga pernah mau dirumah" Lisa mengusap air matanya.

"tapi bencananya timbul beberapa minggu setelah kejadian itu. Di tengah masa trauma dan masa stressnya ibu sakit dan pingsan beberapa kali. Saat diperiksa, ibu ternyata hamil. Hamil aku mas" lagi-lagi Lisa meneteskan air matanya.

"ibu berpikir kalau anak yang ada dikandungan ibu adalah anak pemerkosa itu. Semua orang berpikir seperti itu kecuali ayah. Saat itu kandungan ibu masuk di minggu kesebelas. Ayah berpikir kalau ibu memang diperkosa dalam keadaan hamil. Ayah udah ngejelasin hal itu sama ibu, tapi ibu bersikeras untuk menggugurkan aku bahkan ibu beberapa kali mencoba bunuh diri karena ayah melarang untuk mengugurkan kandungannya. Ayah akhirnya berhasil membujuk ibu. Ayah dan ibu sepakat, kandungan itu dipertahankan dan akan di tes DNA setelah ibu melahirkan. Kalau hasil test ga cocok dengan ayah, aku akan dititipkan keorang lain"

"lalu?" tanya El saat Lisa terdiam sesaat dan mengelap air matanya dengan tissu yang diberikan El.

"DNA aku cocok mas, 99% cocok dengan ayah, aku anak ayah bukan bajingan bejat itu" dengan berlinang air mata Lisa tersenyum lega. Tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika dibuang.

"kalau memang kamu anak ayah, kenapa ibu tetap memperlakukan kamu seperti itu?" heran El.

"trauma mas. Ibu tetap ga bisa nerima aku karena traumanya. Makanya waktu ayah menceritakan hal ini sama aku, aku ga pernah bisa benci ibu. Aku hanya terus berusaha mendapatkan hati ibu. Butuh waktu bertahun-tahun. Saat bisnis ayah menurun, entah kenapa ibu jadi lebih baik. Dan akhirnya saat aku terima tawaran kamu, aku mendapatkan hati ibu sepenuhnya. Ibu melihat bagaimana rasa sayang aku pada keluarga" Lisa tersenyum walau matanya masih basah, menatap El yang juga menatapnya. Hingga ada ketukan pada pintu kaca dibelakang mereka, pembatas antara rumah dan halaman belakang.

"masuk"

Fina, yang mengetuk pintu akhirnya menggeser pintu itu dan menghampiri mereka dengan membawa nampan lalu ditaruhnya dimeja samping El.

"apa itu Fin?" tanya Lisa.

"ini saya bawa coklat panas dan churros mba"

"kamu harus coba coklat panas buatan Fina. Terbaik pokoknya" El pun mengambil salah satu mug berisi coklat panas itu dan menyerahkannya pada Lisa.

"waaah, wangi coklatnya enak" Lisa pun mencicipinya perlahan "Beneran enak, ga bikin serak tenggorokan. Hebat bangen kamu Fin, makasih ya" puji Lisa membuat Fina tersenyum malu.

"mba bisa aja. Coklat biasa aja ini mba"

"makasih ya Fin"

"iya pak. Kalau begitu saya masuk dulu"

Fina pun masuk kedalam rumah dan menutup pintu kaca itu kembali. El pun mengambil satu mug yang tersisa dan menyeruputnya sendiri.

"saya harap saya punya kisah akhir seperti kamu Sa" ujar El setelah seruputan pertamanya.

"hm?" Lisa yang tak mengerti menatap El.

"berhasil mendapatkan hati seseorang yang sangat saya inginkan" ujar El dengan senyum penuh arti. Lisa yang mengerti mengangguk lalu kembali menghadap kolam dan menyeruput coklatnya.

"good luck" Lisa menyemangati dengan senyum sambil memakan churrosnya.

EL & ALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang