Lisa memiliki pilihan untuk menuruti perjodohan ini atau menolaknya. Ayahnya bukan tipe pemaksa, ia menyerahkan keputusan pada Lisa. Tentu saja Lisa ingin menolak, banyak alasan untuk menolak, pertama mereka baru sekali bertemu dan pertemuan itu tid...
Pukul dua siang Lisa baru tiba di rumah, sehabis curhat dengan ketiga temannya tadi Lisa diajak makan, mengisi tenaga karena habis nangis cape katanya. Tapi rumah tampak sepi, biasanya ada suara TV dari ruang keluarga yang ditonton ibunya. Di ruang makan akhirnya ia melihat seseorang, kakak laki-lakinya baru selesai makan.
"kak Fandy? Kok udah dirumah jam segini?" tanya Lisa, ini masih jam kerja tapi kakaknya sudah dirumah.
"iya, tadi kakak migrain. Habis dari luar, jadi minta ijin ayah pulang" tutur sang kakak.
"udah minum obat?" tanya Lisa khawatir.
"udah barusan"
"ibu mana kok ga keliatan?"
"ibu ke rumah pak RT. Katanya ada acara"
"oh" Lisa ikut duduk di meja makan setelah membuat es susu cair. Hening sempat menyelimuti, tapi ia jadi berpikir sesuatu.
"kak. Aku boleh nanya ga?"
"nanya apa?"
"menurut kakak, Elvano tuh gimana?" entah apa yang dicari Lisa, ia ingin mendengar pendapat dari keluarganya tentang Elvano.
"gimana apanya?" Fandy kebingungan dengan arah pembicaraan adik bungsunya ini.
"ya menurut kakak sebagai cowo, Elvano tuh cowo kaya gimana?"
"menurut kakak sih, dia hebat. Umur 30 udah punya segalanya gitu. Perusahaannya juga masih terus berkembang"
"ih bukan, bukan tentang dia dan perusahaannya kak. Tapi tentang karakternya, sifatnya gitu loh. Menurut kakak, dia orangnya terlalu dingin ga sih? Ngomong dikit, sekali ngomong pedes"
"Lis, Elvano itu setahu kakak, udah dari umur dua puluhan ada didunia bisnis. Dan asal kamu tahu, dunia bisnis itu kejam. Kita ga bisa selalu baik sama orang lain. Ayah, dikantor dan dirumah itu beda loh. Dirumah ayah tuh hangat, lembut, selayaknya kepala keluarga. Kalau dikantor ya ayah garang"
"oke oke. Jadi gimana menurut kakak nih ya, di pertemuan tadi malam?"
"gimana ya? Bingung juga sih kakak jelasinnya. Tapi yang kakak tangkap sih dia emang ga ada niat jahat sama kamu. Waktu kita makan tadi malam, dia lirik-lirik kamu. Terus senyum-senyum kecil"
"senyum cabul?"
"buset! Bukanlah Alisa" ujar Fandi terkejut dengan pemikiran adik bungsunya ini "senyum gemes sih kayanya"
Pendapat dari Fandi sama persis dengan pendapat dari Diandra, tapi mereka tidak akan selicik itu untuk membuat Lisa yakin dan akhirnya menerima tawaran dari Elvano. Apa memang hanya dia yang tidak merasa atau memang sengaja mengabaikannya?
"ya udah kak, istirahat gih biar migrainnya hilang. Aku juga mau masuk kamar"
Lisa meninggalkan ruang makan, naik menuju kamarnnya. Dia lelah dengan keadaan bingung seperti ini. Saat membuka pintu kamar ia merasakan ada yang bergetar di saku celananya. Lisa mengambil smartphone itu, dan melihat nama pemanggil. Nama "kak Alvin" kembali terlihat, ia memang mengabaikan panggilan dari Alvin sejak tadi malam.
"halo kak" akhirnya Lisa mengangkat panggilan dari Arvin.
"halo by. Kamu baik-baik aja kan? Aku telepon kamu dari tadi malam tapi kamu ga jawab"
"aku..aku baik-baik aja kak. Tadi malam aku cape banget abis bantuin ibu terus tadi pagi kesiangan buat kekampus" Lisa mengigit bibir bawahnya, ia berbohong pada Arvin.
"beneran? Kok aku ngerasa kamu lagi ada masalah ya?" tebak Arvin. Lisa tahu ia bukan pembohong yang handal, ia selalu merasa orang-orang sangat mudah mengetahui ketika ia bohong apalagi ini Arvin.
"iya kak aku ada masalah" aku Lisa akhirnya, ia tak suka berbohong. "tapi aku ga bisa cerita sekarang" hening. Arvin terkejut, karena biasanya ketika memiliki masalah, orang pertama yang Lisa tuju adalah Arvin. Tapi Arvin akan coba untuk mengerti, mungkin ini memang rahasia yang tidak bisa Lisa ceritakan sekarang.
"ya udah ga apa-apa kalau kamu ga mau cerita" ucap Arvin lembut, tapi justru membuat air mata Lisa mulai menetes. "tapi yang harus kamu tahu, aku ada disini buat kamu by. Ga peduli apapun masalahnya pundak aku ada buat kamu"
Lisa terhenyak, bagaimana bisa ia meninggalkan Arvin. Mereka saling mencintai, saling mengerti, Arvin adalah sosok yang menjadi warna dalam hidupnya. Sedikitpun tak pernah terbersit dalam pikirannya untuk menggantikan sosok Arvin dalam hatinya.
"ya udah aku matiin dulu ya kak" tanpa menunggu jawaban, Lisa memutuskan panggilan itu.
Lisa menggenggam erat handphone ditangannya, mencoba menyalurkan sesak pada benda pipih itu. Tidak, ia tidak bisa berpisah dengan Arvin, ia tak bisa membuang mimpinya. Ia tidak bisa menghabiskan sisa umurnya dengan orang yang tak ia kenal, dengan orang yang merasa bisa melakukan apa saja dengan uangnya. Lisa menunduk seperti membulatkan tekad untuk menolak Elvano. Tapi saat ia mengangkat kepala, matanya langsung tertuju pada foto diatas nakas samping tempat tidurnya.
Foto keluarganya saat wisuda kakak sulungnya, mereka semua terlihat bahagia saat itu. Senyum bangga kedua orang tuanya begitu menawan. Dan saat Lisa menolak tawaran Elvano mereka semua akan hidup terpisah untuk pertama kalinya. Membayangkan kakaknya berada di Kalimantan yang mungkin hanya satu kali pertahun mereka bisa bertemu. Kemudian kedua orang tuanya yang akan kembali ke Bandung untuk menjalankan bisnis baru mereka di usia senja pastilah bukan hal yang mudah. Diandra yang harus mencari pekerjaan disana-sini. Nafas Lisa memburu, ia merasakan sesak yang teramat.
"ya Allah, kenapa pilihan yang kau berikan sesulit ini" tangis Lisa pecah, ia meringkuk diatas tempat tidurnya. Menangis sejadi-jadinya, merasa hidupnya begitu memprihatinkan. Siapa pun yang mendengar tangisannya akan tahu seberat apa masalah yang ia pikul. Seolah Tuhan begitu membencinya sehingga harus berada di posisi ini. Lisa menangis hingga tertidur.
*****
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.